Hukum Mempelajari Fiqih

Sesungguhnya ilmu yang paling utama setelah ilmu pengetahuan tentang sifat-sifat Allah adalah ilmu fiqih, yaitu salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa ilmu fiqih sebagai ilmu tentang halal dan haram. Oleh karena itu, sebagai umat muslim kita diharuskan untuk mempelajari ilmu fiqih agar dapat menjalankan syariat Islam secara baik dan benar.

Melalui catatan sederhana ini, penulis mencoba untuk menguraikan hukum tentang mempelajari ilmu fiqih bagi setiap muslim. Setidaknya ada tiga derajat/tingkatan hukum bagi orang untuk mempelajari ilmu fiqih ini. Pertama adalah hukumnya Fardhu Ain (wajib bagi setiap individu muslim). Hal ini adalah bagi orang yang mukallaf (sudah baligh dan berakal sehat), berupa bekal untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan beragama atau ibadah sehari-hari. Sebagai contoh adalah tata cara berwudhu, shalat, zakat, puasa dan ibadah-ibadah sehari-hari lainnya. Inilah makna dari hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abi Ya’la ra bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Mencari ilmu wajib (hukumnya) atas tiap-tiap orang muslim laki-laki dan perempuan”.

Kedua adalah Fardhu Kifayah, ialah mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung tegaknya perjalanan syariat Islam. Seperti menghafal Al-Qur’an, mempelajari ilmu-ilmu ushul, hadits-hadits, nahwu dan shorof (ilmu ketatabahasaan) dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu yang dibutuhkan dalam kehidupan keduniaan dan tidak terkait sama sekali dengan syariat Islam seperti ilmu kedokteran, tehnik dan lain-lain hukumnya adalah fardhu kifayah juga, sebagaimana yang disampaikan Imam Ghazali.
Orang yang melaksanakan fardhu kifayah mempunyai kelebihan dibandingkan dengan orang yang hanya melakukan fardhu ain saja, karena orang yang melaksanakan fardhu kifayah berarti telah menggugurkan kewajiban sesamanya. Yang memprihatinkan sekarang ini adalah justru banyak masyarakat kita yang terjebak pada pemikiran bahwa mempelajari ilmu-ilmu yang mendukung untuk kehidupan keduniaan lebih diutamakan dengan dalih agar mudah untuk mendapatkan pekerjaan guna mencari ma’isyah (penghidupan).

Ketiga, hukumnya adalah Sunnah. Pada porsi mendalami ilmu sampai kepada dasar-dasar dalilnya secara detail dan terperinci atau segala hal yang berada di atas kadar kewajiban secara kifayah, semua ini hukumnya adalah sunnah. Orang awam yang mempelajari cara-cara ibadah sunnah tidak dalam rangka tujuan mampu membedakan antara yang sunnah dan yang wajib (karena ini adalah syarat suatu ibadah), inipun hukumnya bagi mereka adalah derajat kesunnatan.
Setelah kita melihat tentang dasar-dasar mempelajari suatu ilmu dan bagaimana hukumnya, kita menjadi tahu dan mampu untuk menyimpulkan mana bahagian dari pada ilmu syariat dan mana yang bukan. Dengan ini pula kita dapat memahami bahwa mengkaji ilmu mempunyai kelebihan jauh dibandingkan ibadah-ibadah yang manfaatnya khusus untuk pribadi.
Wallahu a’lam.
Read More...

Serial Buku SBY Bentuk Kampanye Terselubung




Temuan 10 buku bertema SBY di sekolah-sekolah Kabupaten Tegal, Jawa Tengah dinilai sebagai titik mula glorifikasi Presiden RI ke empat tersebut.  Glorifikasi selalu akan berujung pada empati dan perluasan dukungan politik bagi sang tokoh. Demikian dikatakan Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menanggapi beredarnya buku buku SBY yang menjadi polemik.

"Meski penyebaran gagasan dan pikiran tentang SBY merupakan hak berekspresi, tetapi penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk pencetakan buku itu patut diduga sebagai bentuk kampanye terselubung dengan biaya negara,” kata Hendardi, Jumat (28/1). Sebab itu, ia mengingatkan pentingnya untuk menelusuri jangan sampai alokasi dana pendidikan 20% dari APBN, justru digunakan bukan untuk tujuan mencerdaskan bangsa.

Menanggapi Wamendiknas Fasli Jalal yang akan menyerahkan evaluasi buku SBY pada tim penilai, Koordinator Monitoring Kebijakan Publik ICW, Ade Irawan menyatakan tim penilai harus menjelaskan pada publik mengapa buku itu bisa lolos. Tim penilai harus mempertanggungjawabkan serial buku SBY bisa lolos ke sekolah-sekolah. “Apakah ada muatan politik atau tidak. Walau saya kira muatan politiknya tinggi. Harus ada pertanggungjawaban secara akademis,” tegasnya.

Pengamat pendidikan Romo Baskoro menyatakan boleh saja tim penilai mengevaluasi buku SBY. Namun,  ia meminta jajaran Kemendiknas harus mempunyai kordinasi yang baik dan bertanggung  jawab.  "Jangan saling melempar tanggung jawab, mesti ada pihak di Kemendiknas yang paling berwenang membuat keputusan ini," kata Pembina Kolese Kanisius ini. Romo Baskoro berharap pihak Kemendiknas mesti mempertimbangkan secara masak dalam penggunaan DAK, dalam mekanisme penggunaan dan kontrolnya.

Read More...
 
Copyright (c) 2010 Blogger templates by VLC Player