Miskin Dilarang Sakit

Posted on
  • Saturday, October 2, 2010
  • by
  • abiraghib
  • in
  • Labels: , ,
  • Orang miskin dilarang sakit. Itu adalah tema Kick Andy minggu lalu, meski kasus yang diajukan tak sepenuhnya menggambarkan bahwa kematian atau kegagalan pengobatan yang dialami akibat ketidakadaan biaya. Sebagian besar lebih karena ketidaktahuan (ignorance) dari orang tua pasien mengenai keadaan yang dialami anak mereka. Contoh kasus yang diangkat sekaligus menggambarkan rendahnya mutu layanan kesehatan di negeri ini.
    Tapi tema yang dipilih Kick Andy tidak salah. Sudah menjadi rahasia umum: saat ini biaya pelayanan kesehatan di Indonesia memang sangat mahal. Bukan cuma si miskin, mereka yang setengah miskin pun amat merasakannya.
    Sekarang ini pemerintah menyatakan telah menyediakan dana jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) untuk yang miskin dan beberapa pemerintah daerah menyediakan jamkesda. Tetapi peristiwa seperti yang ditemukan Andy F. Noya masih banyak terjadi. Bukan satu dua orang dari kelompok miskin tak tahu bahwa ada dana itu. Kepala desa tak memberi tahu warganya mengenai hal itu. Rumah sakit setali tiga uang. Rumah sakit, mungkin, takut kesulitan ketika menagih dana itu ke pemerintah.
    Kini pemerintah menjanjikan pada 2011, semua persalinan akan digratiskan. Maksudnya, tentu, supaya semua ibu hamil mau datang ke puskesmas kalau melahirkan. Tidak pergi ke dukun bayi. Tapi ada pertanyaan besar, apakah rakyat di desa-desa yang tinggal jauh dari puskesmas mengetahui hal itu? Seandainya tahu apakah biaya perjalanan menuju ke puskesmas juga ditanggung?
    Tidak semua puskesmas mudah terjangkau oleh penduduk dan tidak semua desa tersedia bidan. Kalaupun ada bidan, mereka juga akan menarik bayaran kalau menolong persalinan di luar puskesmas. Apalagi kalau bidan itu adalah bidan swasta yang tidak digaji negara. Jangankan di desa, di banyak kota pun lebih banyak bidan swasta dibanding bidan pemerintah.
    Di kabupaten Pontianak, misalnya, dari sekitar 400 bidan, hanya sekitar 100 yang berstatus pegawai negeri. Kalau janji pemerintah itu hanya berlaku untuk mereka yang melahirkan pada bidan pemerintah atau melahirkan di sarana pelayanan kesehatan pemerintah, maka kembali lagi yang miskin dan tinggal jauh dari tempat layanan akan tidak dapat menikmatinya.
    Kalau niat pemerintah itu ditujukan agar angka kematian ibu melahirkan dapat diturunkan, yang seharusnya dilakukan adalah peningkatan akses terhadap pemeriksaan kehamilan, deteksi dan penanganan dini pada kehamilan yang berisiko, dan penggiatan layanan keluarga berencana sampai ke desa-desa. Termasuk, misalnya, untuk kehamilan yang berisiko, maka biaya transportasi dari desa ke Puskesmas akan ditanggung negara, dan semua puskesmas sudah dilatih dan dielngkapi sarana untuk memberikan pertolongan persalinan yang berisiko.
    Sekarang ini dengan adanya batasan kewenangan kepada bidan sebagai konsekwensi UU Praktik Kedokteran, maka sering dana pelatihan lebih banyak digunakan untuik melatih dokter puskesmas. Padahal penempatan dokter puskesmas itu sendiri tidak bersifat tetap, sehingga kalau dokter yang sudah dilatih itu pindah, yang menggantikan memerlukan pelatihan lagi. Sementara bidan yang lebih menetap dan lebih banyak berhubungan langsung dengan perawatan kehamilan di desa-desa, kurang mendapat pembekalan agar siap menangani kehamilan yang berisiko.
    Jadi kembali lagi, niat yang baik dari pemerintah tadi akhirnya hanya leboih bernuansa untuk popularitas karena tidak disertai pemikiran tentang bagaimana mendaratkan niat tersebut sampai ke desa-desa yang jauh dari jangkauan puskesmas.

    Kartono Mohamad
    Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

    0 comments:

    Post a Comment

     
    Copyright (c) 2010 Blogger templates by VLC Player