Pesantren Sistem Pendidikan Asli Indonesia

Posted on
  • Thursday, November 7, 2013
  • by
  • abiraghib
  • in
  • Labels: , , , , ,
  • Sebuah Review atas Buku Pesantren Studies Jilid 2a
    Bab 1 – Pesantren, Karakter (Ber)Bangsa:
    Refleksi dari Sebuah Perdebatan di Masa Kolonial
    Pesantren merupakan institusi yang banyak dipuji orang, khususnya masyarakat muslim, demikian juga dengan keberadaan Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia. Namun di saat yang sama sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai  institusi yang cukup penting untuk  selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.[1]
    Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia, sekalipun demikian informasi-informasi lain membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren, madrasah, merupakan adaptasi dari sistem pendidikan yang telah dikembangkan sebelumnya. Satu informasi mengatakan bahwa, pesantren, madrasah dan sekolah Islam seperti dikemukakan  pendapat pertama yaitu merupakan kelanjutan  dan penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau masa kekuasaan Hindu-Budha, Nurcholis Madjid setuju  dengan pendapat ini. Sebagaimana disebutkan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, lalu Islam meneruskan dan meng-Islamkannya.[2]
    Berbicara tentang pesantren, khususnya di era penjajahan, bukan sekedar membahas sebuah sistem pendidikan, tentang arah dan tujuan pengajaran, kurikulum, buku teks-teks pelajaran yang digunakan atau tentang guru dan rekrutmen murid. Melainkan lebih dari itu, adalah juga berbicara mengenai arah, tujuan dan desain seperti apakah bangsa ini dibuat untuk masa mendatang – pasca penjajahan. Hal ini tergambar jelas dalam sebuah perdebatan tentang pesantren pada tahun 1930-an yang melibatkan sejumlah pihak. Perdebatan berlangsung di sebuah media berbahasa Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan”.
    Salah seorang cendekiawan yang terlibat dalam polemik tersebut ialah dr. Soetomo. Yang menarik dari pemikiran Soetomo adalah anjurannya agar asas-asas sistem pendidikan pesantren digunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia. Meskipun pemikiran Soetomo kurang mendapat tanggapan yang berarti, tetapi patut digarisbawahi bahwa paling tidak pesantren telah dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses pembentukan identitas budaya bangsa Indonesia. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local genius.[3]
    Bisa disimpulkan dari paparan dr. Soetomo, yang paling ditekankan adalah bahwa persatuan demikian penting di antara berbagai elemen kebangsaan, dengan sistem pendidikan pesantren sebagai elemen pemersatu. Kemudian ketika menekankan pentingnya pesantren dari sudut kesederhanaan dan kedalaman pendidikan keagamaan-kebangsaannya, Soetomo menggarisbawahi pentingnya elemen agama dalam ideologi kebangsaan agar tidak sekuler seratus persen. Perdebatan tentang pesantren di media publik seperti ini juga pernah terjadi sebelumnya di tahun 1876 dalam edisi April hingga Juli Jurnal Jurumartani, sebuah jurnal berbahasa Jawa yang terbit di Surakarta sejak tahun 1855. Perdebatannya seputar soal plus-minus sekolah barat dan pesantren. Tapi cakupan debatnya belum menyentuh isu sensitif tentang desain bangsa kita untuk merdeka pasca penjajahan.
    Poin inilah yang kemudian menjadi sasaran dan target orang-orang seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan pengikutnya di Balai Pustaka maupun dalam Poedjangga Baroe. Mereka menafikan segenap klaim-klaim legitimasi keberadaan pesantren untuk kepentingan basis dan pilar-pilar ideologi nasionalis tersebut. Pesantren oleh Soetomo tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang arkaik (kuno), ketika sekolah-sekolah modern bermunculan. Pesantren justru dihadirkan untuk menjawab persoalan dan tantangan kekinian. Ini berarti Soetomo mengakui pesantren bisa menjadi aktor inspirasi bagi roh kebangsaan ini: persatuan, kemandirian, kesejahteraan, kemerdekaan dan kerakyatan. Oleh sebagian kalangan nasionalis, pesantren bukanlah antithesis terhadap ideologi ke-Indonesia-an melainkan bagian integral dari denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia itu sendiri.
    Senada dengan Soetomo, ada Ki Hadjar Dewantara dan Sutopo Adiseputero yang mengemukakan sikap serupa tentang pesantren. Meski dengan perbedaan tekanan, tapi semangat mereka sama yakni bagaimana menempatkan pesantren sejajar dengan sistem sekolah modern, bahkan sebagai penentu dalam konstruksi kebangsaan. Ki Hadjar Dewantara misalnya menyampaikan sesuatu yang tegas tentang pengintegrasian pesantren ke dalam konstruksi ke-Indonesiaan-an. Hal ini mula-mula dilontarkannya dalam kongres pertama PPPKI di Surabaya pada 30 Agustus – 2 September 1928, yakni ide tentang nationaal onderwijs atau pengajaran kebangsaan.
    Dua bulan kemudian Ki Hadjar mempertegas keberpihakannya terhadap sisi baik pesantren dengan menulis dalam media Taman Siswa, Wasita, edisi November 1928 dengan judul “Systeem Pondok dan Asrama itulah Systeem Nasional”. Selang dua tahun kemudian Ki Hadjar Dewantara mengemukakan pula hal serupa dalam kongres pertama Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa Ki Hadjar mengikuti arah yang juga dilalui oleh dr. Soetomo dalam soal peran pesantren dalam konteks kebangsaan. Bahwa pesantren menyumbang banyak hal dalam membentuk sifat dan karakter pengajaran nasional sebagai lawan pendidikan kolonial. Sifat kedekatan pesantren dengan rakyat memperkaya pendidikan kultural dan kerohanian masyarakat, memupuk solidaritas, serta ikut mengukuhkan semangat kebangsaan; persatuan, kemandirian dan kemerdekaan. Sifat dan karakter inilah yang kemudian mengundang perdebatan, bahkan terus berulang hingga kini.
    Apa yang ditulis Soetomo dan Ki Hadjar mengusik kepala Sutan Takdir Alisjahbana. Menurut Sutan Takdir, kembali ke pesantren berarti kembali kepada anti-intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialistik. Dalam polemik sebelumnya dengan Sanusi Pane dan Poerbatjaraka, ia menyebut masa pra-Indonesia sebagai zaman jahiliyah. Sutan Takdir dalam tulisannya Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia – Pra-Indonesia (Poedjangga Baroe, 2 Agustus 1935) membedakan "zaman pra-Indonesia" (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan "zaman Indonesia" (yang mulai pada awal abad ke-20). Ia menegaskan tentang lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambugan dari generasi sambungan Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin atau Sunda. Karenanya tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat.[4]
    Kemudian ketika pesantren diangkat kembali di era modern –era perdebatan ini– maka itu dilihat mewakili traditie. Dan itu artinya sama dengan masa jahiliyah. “Traditie menjadi undang-undang besi yang tiada dapat dilanggar orang”, tandas Takdir. Ada beberapa hal baik yang diakui oleh Takdir sebagai karakter pesantren: persatuan, biaya terjangkau, pendidikan kemerdekaan, model pendidikan yang mengakar ke masyarakat, dst. Tapi bagi Takdir sebutan pesantren, kiai, santri adalah hal-hal yang tidak masuk dalam lingkup pemikirannya dan tidak ada dalam “database” inteleknya.
    Bahkan Sutan Takdir dengan sengaja menyerang eksistensi pesantren dan Soetomo sekaligus dengan bahasa kasar dan destructief: “Apabila Tuan dr. Soetomo mengatakan terpecah-belahnya persatuan yang berpusat kiai itu racun bagi bangsa kita, saya menyebut perpecahan persatuan yang demikian ini ialah obat yang semujarab-mujarabnya, semangat persatuan yang berpusat kiai dan pesantren yang menyebabkan jatuhnya bangsa kita”. Kita dapat pahami dari buah pikiran Sutan Takdir tersebut sedikit membuktikan bahwa dia adalah seorang yang pro imperealisme, setidaknya tulisan-tulisannya mengarah kepada propaganda anti kemerdekaan dan mengangkat sisi baik status quo.
    Dokter Soetomo membantah keras pandangan modernis tersebut, bahkan balik menyerang acuan ideologis Sutan Takdir tentang intelektualisme, individualisme, egoisme dan materialistik. Sekolah-sekolah Belanda seperti HIS, kata Soetomo, adalah “racun bagi anak Indonesia” –meski ia sendiri dikader dalam sekolah-sekolah colonial semacam ini. Ini berarti Soetomo bias memilah-milah dengan bijak antara model pesantren dan sekolah modern.
    Sementara Adinegoro –Adinegoro merupakan nama samaran dari Djamaludin yang bergelar Datuk Maharadja Sutan– seorang wartawan terkemuka dan novelis yang lahir di Talawi Sumatra Barat,[5] menyebut kampanye Takdir tersebut akan membuat bangsa ini terjerumus dalam lembah kapitalisme dan imperealisme. Menurutnya, kemajuan yang dimaksud Takdir adalah civilisatie bukan kultur, ‘kulitnya’ bukan ‘kayunya’. Ini ibarat perbedaan manusia dengan pakaiannya. Karakter seseorang terletak pada jiwanya. Sementara pakaian hanya tampilan luar yang memperindah tampilan karakter. Jadi dalam pandangan Adinegoro, orang-orang Indonesia tetap harus berkultur timur, artinya berkepribadian ke-Indonesia-an, karena itulah yang membentuk karakter kejiwaan dan kemanusiaannya.
    Sampai di sini, Soetomo, Ki Hadjar, Adinegoro dan pendukung pesantren lainnya sudah menemukan satu obat mujarab. Yakni dalam menjawab soal alasan mereka mengangkat pesantren di atas panggung kemodernan-kebangsaan ini. Bagi mereka, kebangsaan yang modern tidak harus menafikan pesantren, tapi bias hadir bersama-sama. Pesantren dan sekolah modern bisa berinteraksi dan saling tukar pengetahuan serta kebudayaan yang terjadi di antara keduanya tanpa saling menjatuhkan. Pesantren tentu ada kekurangannya, demikian pula konstruksi kebangsaan-modern juga ada kelemahannya.
    Kemunculan Sutan Takdir Alisjahbana dengan Poejangga Baroe-nya dalam Polemik Kebangsaan tiada lain hanyalah untuk menjustifikasi mimpi-mimpi indah yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial dengan sekolah-sekolah Baratnya. Sementara untuk pesantren dan sekolah-sekolah nasionalis lainnya, yang ditampilkan adalah mimpi-mimpi buruk di depan mata anak-anak bangsa ini. Hal ini dilakukannya dalam rangka meng-counter sistem pendidikan para haji dan kiai-kiai di desa-desa yang dianggap merusak hubungan antara pemerintah kolonial dengan rakyat. Impian berbunga-bunga yang kemudian diciptakan: untuk hidup mapan dan tidak terkena dampak Malaise (depresi besar tahun 1930-an), masuklah sekolah Belanda, dan dari sana terbuka masa depan yang lebih baik. Salah satu pesan sponsor yang disampaikan Sutan Takdir adalah “Menjadi buruh berarti mendapat hidup yang senang”. Ini yang kemudian disanggah oleh dr. Soetomo sebagai “proses buruhisasi bangsa Indonesia” atau dalam bahasa kita kini, “proletarisasi orang-orang Indonesia”.
    Demikianlah cara Soetomo, Ki Hadjar dan Adinegoro menunjukkan model merawat tradisi dan identitas kebudayaan bangsa ini. Sehingga menjadi relevan mengapa actor-aktor gerakan nasionalis ini mendukung pesantren. Mereka melihat pesantren sebagai sebuah kekuatan investasi kultural. Yakni pesantren sebagai lahan subur dan juga kesempatan emas untuk mengimajinasi hakekat dan karakter “(ber)bangsa”. Dalam sejarahnya pesantren memperkenalkan kepada mereka satu peradaban yang sangat kaya dengan pencapaian-pencapaian kebudayaan dalam bidang agama, sastra, seni dan spiritualitas –sesuatu yang belum dirusak oleh pengaruh kebudayaan Barat.
    Pesantren dianggap sebagai aktor pengisi imajinasi kebangsaan maupun sebagai actor dekolonisasi imajinasi dan kebudayaan. Dari konteks pesantren ini, “bangsa” digodok, diracik dan dimapankan. Sehingga apapun yang termasuk dalam wilayah kebudayaan, yang dianggap sebagai unsure-unsur bangsa, dirumuskan sesuai dengan hakikat kepesantrenan itu. Dari sana mereka berbicara tentang “jiwa dan sanubari” bangsa, tentang “kebudayaan” kita yang terjaga dalam pesantren, dan tentang arti kemandirian, kemerdekaan dan persatuan. Demikian pula Soetomo melihat idealisme “persatuan” dalam pesantren yang dianggap paling idealis.
    Tema-tema kemerdekaan dan persatuan itulah yang kemudian menjadi pertaruhan kalangan nasionalis, founding fathers bangsa dan negara kita. Ini kemudian menentukan manakah arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Apakah yang bergantung kepada niat baik negara-negara Barat imperialis ataukah mencari kekuatan sendiri yang mandiri dalam bangsa sendiri. Dan pada gilirannya, ini pula sebetulnya yang menentukan soal dekat jauhnya seseorang dengan pesantren dalam meramu hakikat kebangsaan.






    [1] Sri Haningsih, Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia, dalam Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi No. 1. Vol.I. 2008.
    [2] Haedari Amin, dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab Vol. II. No. 1. Juli 2007.
    [3] Prof. Drs. A. Malik Fajar, M.Sc., Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesatren, Makalah yang diambil dari Diskusi Panel "Pola Keterkaitan Pesantren, Perguruan Tinggi dan LSM dalam Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat", yang diselenggarakan oleh Lembaga Kemahasiswaan dan Yayasan Pembina Masjid Salman ITB, (Bandung tanpa tanggal dan tahun).
    [4] http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2403/Polemik-Kebudayaan
    [5] http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/48/Adinegoro

    0 comments:

    Post a Comment

     
    Copyright (c) 2010 Blogger templates by VLC Player