Penelusuran Manuskrip Tentang Pesantren dan Islam Nusantara

Manuskrip adalah naskah kuno tulisan tangan karya orang terdahulu yang menjadi kajian filologi. Pengertian manuskrip saat ini perlahan meluas menjadi segala bentuk naskah tertulis yang biasanya telah berusia ratusan tahun lalu yang dibuat manusia baik terkait ilmu pengetahuan, kesusasteraan, undang-undang, ketatanegaraan dan lain sebagainya.  Berbagai manuskrip ini masih tersimpan rapi di beberapa museum dan perpustakaan, walaupun ada juga beberapa manuskrip ditemukan di beberapa daerah dalam kondisi tidak terawat atau rusak.
Penelusuran manuskrip ini merupakan tugas dari mata kuliah Pesantren Studies dengan dosen pengampu Ahmad Baso. Sebelum mengikuti perkuliahan ini saya belum begitu memahami apa yang dimaksud dengan manuskrip yang sesungguhnya. Namun dengan bekal pengetahuan yang minim saya mencoba untuk melakukan penelusuran manuskrip tentang pesantren dan Islam Nusantara ini ke Perpustakaan Nasional yang beralamat di Jalan Salemba Raya Jakarta Pusat. Kunjungan ke gedung Perpustakaan Nasional ini merupakan kunjungan pertama bagi saya, sehingga ada hikmah positif yang dapat dipetik dari perjalanan ini, yaitu apabila tidak ada tugas dari Pak Ahmad Baso maka saya mungkin tidak pernah datang ke Perpustakaan Nasional.
Di lobbi perpustakaan tersebut petugas keamanan memberi tahu saya agar mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk menjadi anggota, karena jika tidak maka saya tidak mendapatkan izin akses masuk ke dalam walaupun hanya sekedar untuk membaca atau melihat-lihat. Untuk itu pertama-tama saya harus mengantri untuk membuat kartu anggota, sebagai informasi saja bahwa pembuatan kartu anggota perpustakaan nasional tidak dipungut biaya alias gratis.
Sesudah membuat kartu anggota barulah saya diizinkan masuk dan langsung naik ke lantai 2 dimana saya mencari terlebih dulu katalog buku atau koleksi manuskrip yang saya cari. Setelah membuka-buka katalog dan mendapat bantuan informasi dari petugas kemudian saya menuju ke lantai 5, tempat menyimpan koleksi ratusan bahkan mungkin ribuan manuskrip Nusantara. Di sana saya menyerahkan nomor kode atau katalog manuskrip kepada petugas ruangan manuskrip yang kemudian membantu mencarikan naskah yang saya cari.
Ternyata tidak semua naskah manuskrip yang ada dalam katalog dapat dipinjamkan kepada pengunjung dengan alasan kondisi naskah yang sudah rusak parah karena dimakan usia ataupun sedang dalam perbaikan (restorasi). Sehingga saya sarankan kepada sahabat-sahabat yang akan berkunjung ke sana untuk melakukan penelusuran manuskrip agar mempunyai katalog cadangan naskah lainnya selain dari katalog yang kita inginkan. Sebagaimana yang dialami oleh saya, pada mulanya dengan percaya diri saya hanya mengajukan satu katalog naskah yang dianggap paling sesuai dengan kebutuhan tugas mata kuliah Pesantren Studies ini, namun ternyata naskah yang diminta tidak dapat dipenuhi oleh petugas dengan alasan di atas. Kejadian ini terus berulang sampai saya mengajukan katalog naskah ke empat dengan kode bertuliskan BR196 – Do’a Chatam Koer’an yang akhirnya saya dapat.
Dengan kemampuan yang dimiliki ala kadarnya saya pun mencoba untuk melakukan pengkajian terhadap isi naskah tersebut. Dari beberapa lembar halaman naskah yang saya –dibantu beberapa teman– kaji, sebagian besar naskah masih dapat terbaca dan dimengerti dengan baik. Ada sebagian kata-kata yang kami temukan kurang dapat dimengerti karena sebagian tintanya sudah pudar dimakan usia, selain juga ada beberapa kata yang sudah tidak popular lagi digunakan pada masa kini.
Permasalahan ini tentu sering saya temukan mengingat naskah manuskrip yang saya kaji sudah berusia sekitar 243 tahun. Hal ini dapat diketahui dari lembar halaman paling akhir naskah tersebut, dimana penulisnya mencantumkan tanggal bulan dan tahun dibuatnya tulisan itu yakni pada bulan April 1772 M. Dari beberapa teks yang mampu kami baca dapat disimpulkan isi naskah tidak terlalu sesuai dengan judul yang tertulis dalam katalog. Ternyata isinya hampir sama atau lebih mirip dengan apa yang kita sebut sekarang ini sebagai do’a tahlil dalam rangka mendoakan orang yang sudah mati. Sebagaimana dalam halaman pertama naskah disebutkan:
“Bismillahirrohmanirrohim.

Bab bermula, ketahui olehmu hai tholib bahwa inilah do’a hatimil qur’an orang mati, maka membaca inilah. Pertama-pertama membaca bismillahir rohmanirrohim, Qul huwa Allahu ahad sampai kepada akhirnya tiga kali, maka pada akhirnya Laa ilaa ha illa Allah Allahu akbar sekali, maka membaca pula bismillahir rohmanirrohim Qul a’udzu bi robbil falaq sampai kepada akhirnya, Laa ilaa ha illa Allah Allahu akbar. Kemudian membaca Qul a’udzu bi robbinnaas hingga akhirnya…”


Read More...

Peranan Jaringan Ulama di Indonesia

Secara geografis, kawasan muslim Asia Tenggara juga sering disebut Dunia Melayu-Indonesia, terletak di pinggiran (periphery) dunia Islam. Lebih jauh, kawasan ini juga mempresentasikan salah satu bagian dunia Islam yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Meskipun demikian, perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Islam di Timur Tengah. Dalam konteks ini, jaringan ulama internasional yang berpusat di Haramain memainkan peran krusial dalam transmisi dorongan (impulse) pembaruan pada abad ke-17 dan ke-18 ke kawasan Dunia Melayu-Indonesia.

Hubungan kuat dan intensif antara kaum muslim di Asia Tenggara dan saudara seiman mereka di Timur Tengah telah tersipta sejak waktu yang sangat duni kehadira Islam di Dunia Melayu-Indonesia. Pada mulanya, kontak di kalangan mereka terjalin melalui perdagangan antara Asia Tenggara dan Timur Tengah. Para pedagang dari Timur Tengah banyak dan sering mengunjungi kota-kota di Asia Tenggara; mereka terlibat tidak hanya dalam perdagangan ,tetapi juga, pada batas tertentu, dalam memperkenalkan Islam kepada penduduk pribumi. Banyak penduduk Muslim di kawasan ini pergi ke pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Kebanyakan mereka pergi ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji. Namun, ada juga dari mereka yang sengaja tinggal dan belajar di sana tentang berbagai ilmu Islam untuk beberapa waktu. Ini menyebabkan munculnya hal yang disebut orang-orang Makkah dan Madinah sebagai komunitas “Jawi” (ashabu al-Jawiyyin) di Tanah Suci, sekalipun tidak semua dari mereka berasal dari Jawa.

Dengan mempertimbangkan hubungan ekonomi, diplomatik, dan sosial yang luas dan intensif di antara kerajaan-kerajaan Muslim di dunia Melayu-Indonesia dan Timur Tengah memungkinkan bahwa para murid Jawi telah menuntut ilmu Islam sebelum abad ke-17. Sangat disayangkan, kurangnya sumber informasi menjadikan upaya untuk merekonstruksi sejarah awal murid-murid Jawi di Timur Tengah menjadi sangat sulit, namun upaya mesti tetap dilakukan. Catatan-catatan Barat dari abad ke-15 merupakan sumber-sumber yang penting. Namun, sumber-sumber Barat menawarkan hanya sedikit mengenai Islam dengan wajah keagamaan yang mempresentasikan meluasnya suatu komunitas keagamaan dunia. Untuk mengungkapkan dimensi ini, orang harus menemukan garis-garis tradisi intelektual yang terlihat dalam studi pencarian keilmuan Islam. Jika ini tidak dilakukan, akan sulit melacak jaringan yang merangsang dan memelihara urat nadi dinamika Islam dan kehidupan sosial di kawasan ini.

Jaringan Ulama Internasional
Kehidupan keagamaan Islam pada masa-masa akhir abad pertengahan dapat ditandai oleh ketegangan antara Islam Ortodoks dan Sufisme. Meskipun demikian, berbagai upaya telah mulai dilakukan pada abad ke-3 H/9 M di dalam lingkungan sufi untuk menjembatani jurang antara Islam Ortodoks dan Sufisme, serta menjaga agar tetap berada dalam batas-batas yang bisa diteloransi.

Pada perempatan terakhir abad ke-4 H/10 M, gerakan yang berhasil mencapai puncaknya pada karya Al-Ghazali berhasil mencapai suatu sintesis antara sufisme dan kalam yang umumnya dapat diterima oleh ortodoksi dan dikukuhkan oleh ijma'. Adalah jelas bahwa setelah gerakan sufisme menguasai dunia Muslim selama abad ke-6 H/12 M dan ke-7 H/13 M, secara emosional, spiritual dan intelektual di kalangan para ulama terdapat kesadaran yang semakin kuat bahwa hampir tidak mungkin bagi mereka mengabaikan kekuatan sufisme secara keseluruhan. Objek dan isi pemusatan rohani tersebut kini diidentifikasikan dengan doktrin ortodoks, sedangkan tujuan sufisme dirumuskan kembali sebagai upaya penguatan keimanan dalam batas-batas syariat guna mencapai kemurnian batin.

Tampaknya komunitas ulama, terutama yang berpusat di Makkah dan Madinah memainkan peran penting dalam perkembangan tersebut. Karena peran sentral tersebut, tidaklah mengherankan jika kedua kota itu semakin menjadi vocal point yang krusial dan tempat pertemuan para ulama dari seluruh dunia Muslim. Dengan demikian, sebuah jaringan ulama yang bersifat kosmopolit muncul dari Haramain. Meningkatnya kosmopolitanisme dalam jaringan ulama internasional sudah barang tentu membantu para pencari ilmu untuk memperluas horizon intelektual mereka.

Inti jaringan ulama adalah para ulama terkemuka dan berpengaruh di Makkah dan Madinah, baik warga pribumi maupun mereka mereka yang berasal dari wilayah dunia muslim lain yang telah menetap secara permanen di sana. Dengan kata lain, mereka yang terlibat dalam jaringan ini, guru maupun murid, lahir dan pertama kali belajar ilmu-ilmu Islam di wilayah yang terbentang mulai Hijaz, Persia, India dan Indonesia sampai ke Mesir dan Maroko. Kelompok ini secara keseluruhan mengadakan banyak perjalanan dan sedikit dari mereka yang mendapatkan pendidikan dari satu atau dua tempat saja.

Analisis lebih jauh tentang komunitas intelektual menampakkan gambaran yang menarik. Lebih-lebih lagi, komunitas ini mempresentasikan kesinambungan yang kuat terhadap penekanan baru atas berbagai disiplin ilmu, terutama telaah hadits yang tidak hanya berdasarkan Kutub Al-Sittah dan buku-buku pada abad pertengahan yang diterbitkan atas dasar keenam kumpulan hadits tersebut. Dalam telaah hadist, perkembangan semacam ini jelas berkaitan dengan niat yang berkesinambungan di antara ulama untuk memperbarui sufisme. Model yang digunakan untuk masyarakat ideal adalah komunitas yang digambarkan oleh hadits. Jadi, ada suatu perubahan yang bertahap mengenai penekanan pada telaah hadits; sekarang kebanyakan ulama mempelajari hadits untuk tujuan praktis daripada alasan akademis. Telaah hadits kini digunakan lebih banyak untuk memberikan suatu standar penilaian atas praktik-praktik di kalangan kaum muslimin pada masa itu. ***


Sumber: Buku Islam Nusantara karya Prof. Dr. Azzumardi Azra, MA.
Read More...
 
Copyright (c) 2010 Blogger templates by VLC Player