Sebuah Review atas
Buku Pesantren Studies Jilid 2a
Bab 1 – Pesantren,
Karakter (Ber)Bangsa:
Refleksi
dari Sebuah Perdebatan di Masa Kolonial
Pesantren merupakan
institusi yang banyak dipuji orang, khususnya masyarakat muslim, demikian juga
dengan keberadaan Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia. Namun di saat yang
sama sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak
“menghambat” kemajuan Islam. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara
tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai institusi yang cukup penting untuk selalu diperhatikan. Pandangan positif akan
menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran
pesantren itu sendiri.[1]
Pesantren dianggap
sebagai sistem pendidikan asli Indonesia, sekalipun demikian
informasi-informasi lain membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren,
madrasah, merupakan adaptasi dari sistem pendidikan yang telah dikembangkan
sebelumnya. Satu informasi mengatakan bahwa, pesantren, madrasah dan sekolah
Islam seperti dikemukakan pendapat
pertama yaitu merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau masa kekuasaan
Hindu-Budha, Nurcholis Madjid setuju
dengan pendapat ini. Sebagaimana disebutkan bahwa pesantren memiliki
hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam yang sudah ada sejak masa
kekuasaan Hindu-Budha, lalu Islam meneruskan dan meng-Islamkannya.[2]
Berbicara tentang
pesantren, khususnya di era penjajahan, bukan sekedar membahas sebuah sistem
pendidikan, tentang arah dan tujuan pengajaran, kurikulum, buku teks-teks
pelajaran yang digunakan atau tentang guru dan rekrutmen murid. Melainkan lebih
dari itu, adalah juga berbicara mengenai arah, tujuan dan desain seperti apakah
bangsa ini dibuat untuk masa mendatang – pasca penjajahan. Hal ini tergambar
jelas dalam sebuah perdebatan tentang pesantren pada tahun 1930-an yang
melibatkan sejumlah pihak. Perdebatan berlangsung di sebuah media berbahasa
Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan”.
Salah seorang
cendekiawan yang terlibat dalam polemik tersebut ialah dr. Soetomo. Yang
menarik dari pemikiran Soetomo adalah anjurannya agar asas-asas sistem
pendidikan pesantren digunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional
Indonesia. Meskipun pemikiran Soetomo kurang mendapat tanggapan yang berarti,
tetapi patut digarisbawahi bahwa paling tidak pesantren telah dilihat sebagai
bagian yang tak terpisahkan dalam proses pembentukan identitas budaya bangsa
Indonesia. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia,
agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local
genius.[3]
Bisa disimpulkan dari
paparan dr. Soetomo, yang paling ditekankan adalah bahwa persatuan demikian
penting di antara berbagai elemen kebangsaan, dengan sistem pendidikan
pesantren sebagai elemen pemersatu. Kemudian ketika menekankan pentingnya
pesantren dari sudut kesederhanaan dan kedalaman pendidikan
keagamaan-kebangsaannya, Soetomo menggarisbawahi pentingnya elemen agama dalam
ideologi kebangsaan agar tidak sekuler seratus persen. Perdebatan tentang
pesantren di media publik seperti ini juga pernah terjadi sebelumnya di tahun
1876 dalam edisi April hingga Juli Jurnal Jurumartani, sebuah jurnal
berbahasa Jawa yang terbit di Surakarta sejak tahun 1855. Perdebatannya seputar
soal plus-minus sekolah barat dan pesantren. Tapi cakupan debatnya belum
menyentuh isu sensitif tentang desain bangsa kita untuk merdeka pasca
penjajahan.
Poin inilah yang
kemudian menjadi sasaran dan target orang-orang seperti Sutan Takdir Alisjahbana
dan pengikutnya di Balai Pustaka maupun dalam Poedjangga Baroe. Mereka
menafikan segenap klaim-klaim legitimasi keberadaan pesantren untuk kepentingan
basis dan pilar-pilar ideologi nasionalis tersebut. Pesantren oleh Soetomo
tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang arkaik (kuno), ketika sekolah-sekolah
modern bermunculan. Pesantren justru dihadirkan untuk menjawab persoalan dan
tantangan kekinian. Ini berarti Soetomo mengakui pesantren bisa menjadi aktor
inspirasi bagi roh kebangsaan ini: persatuan, kemandirian, kesejahteraan,
kemerdekaan dan kerakyatan. Oleh sebagian kalangan nasionalis, pesantren
bukanlah antithesis terhadap ideologi ke-Indonesia-an melainkan bagian
integral dari denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia itu sendiri.
Senada dengan Soetomo,
ada Ki Hadjar Dewantara dan Sutopo Adiseputero yang mengemukakan sikap serupa
tentang pesantren. Meski dengan perbedaan tekanan, tapi semangat mereka sama
yakni bagaimana menempatkan pesantren sejajar dengan sistem sekolah modern,
bahkan sebagai penentu dalam konstruksi kebangsaan. Ki Hadjar Dewantara
misalnya menyampaikan sesuatu yang tegas tentang pengintegrasian pesantren ke
dalam konstruksi ke-Indonesiaan-an. Hal ini mula-mula dilontarkannya dalam
kongres pertama PPPKI di Surabaya pada 30 Agustus – 2 September 1928, yakni ide
tentang nationaal onderwijs atau pengajaran kebangsaan.
Dua bulan kemudian Ki
Hadjar mempertegas keberpihakannya terhadap sisi baik pesantren dengan menulis
dalam media Taman Siswa, Wasita, edisi November 1928 dengan judul “Systeem
Pondok dan Asrama itulah Systeem Nasional”. Selang dua tahun kemudian Ki
Hadjar Dewantara mengemukakan pula hal serupa dalam kongres pertama Perguruan
Taman Siswa di Yogyakarta. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa Ki Hadjar
mengikuti arah yang juga dilalui oleh dr. Soetomo dalam soal peran pesantren
dalam konteks kebangsaan. Bahwa pesantren menyumbang banyak hal dalam membentuk
sifat dan karakter pengajaran nasional sebagai lawan pendidikan kolonial. Sifat
kedekatan pesantren dengan rakyat memperkaya pendidikan kultural dan kerohanian
masyarakat, memupuk solidaritas, serta ikut mengukuhkan semangat kebangsaan;
persatuan, kemandirian dan kemerdekaan. Sifat dan karakter inilah yang kemudian
mengundang perdebatan, bahkan terus berulang hingga kini.
Apa yang ditulis
Soetomo dan Ki Hadjar mengusik kepala Sutan Takdir Alisjahbana. Menurut Sutan
Takdir, kembali ke pesantren berarti kembali kepada anti-intelektualisme,
anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialistik. Dalam polemik sebelumnya
dengan Sanusi Pane dan Poerbatjaraka, ia menyebut masa pra-Indonesia sebagai
zaman jahiliyah. Sutan Takdir dalam tulisannya Menuju Masyarakat dan Kebudayaan
Baru: Indonesia – Pra-Indonesia (Poedjangga Baroe, 2 Agustus 1935) membedakan
"zaman pra-Indonesia" (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan
"zaman Indonesia" (yang mulai pada awal abad ke-20). Ia menegaskan
tentang lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambugan
dari generasi sambungan Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin atau Sunda.
Karenanya tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat.[4]
Kemudian ketika
pesantren diangkat kembali di era modern –era perdebatan ini– maka itu dilihat
mewakili traditie. Dan itu artinya sama dengan masa jahiliyah. “Traditie
menjadi undang-undang besi yang tiada dapat dilanggar orang”, tandas Takdir.
Ada beberapa hal baik yang diakui oleh Takdir sebagai karakter pesantren:
persatuan, biaya terjangkau, pendidikan kemerdekaan, model pendidikan yang
mengakar ke masyarakat, dst. Tapi bagi Takdir sebutan pesantren, kiai, santri
adalah hal-hal yang tidak masuk dalam lingkup pemikirannya dan tidak ada dalam
“database” inteleknya.
Bahkan Sutan Takdir
dengan sengaja menyerang eksistensi pesantren dan Soetomo sekaligus dengan
bahasa kasar dan destructief: “Apabila Tuan dr. Soetomo mengatakan
terpecah-belahnya persatuan yang berpusat kiai itu racun bagi bangsa kita, saya
menyebut perpecahan persatuan yang demikian ini ialah obat yang
semujarab-mujarabnya, semangat persatuan yang berpusat kiai dan pesantren yang
menyebabkan jatuhnya bangsa kita”. Kita dapat pahami dari buah pikiran Sutan
Takdir tersebut sedikit membuktikan bahwa dia adalah seorang yang pro imperealisme,
setidaknya tulisan-tulisannya mengarah kepada propaganda anti kemerdekaan dan mengangkat
sisi baik status quo.
Dokter Soetomo
membantah keras pandangan modernis tersebut, bahkan balik menyerang acuan
ideologis Sutan Takdir tentang intelektualisme, individualisme, egoisme dan
materialistik. Sekolah-sekolah Belanda seperti HIS, kata Soetomo, adalah “racun
bagi anak Indonesia” –meski ia sendiri dikader dalam sekolah-sekolah colonial
semacam ini. Ini berarti Soetomo bias memilah-milah dengan bijak antara model
pesantren dan sekolah modern.
Sementara Adinegoro –Adinegoro
merupakan nama samaran dari Djamaludin yang bergelar Datuk Maharadja Sutan– seorang
wartawan terkemuka dan novelis yang lahir di Talawi Sumatra Barat,[5]
menyebut kampanye Takdir tersebut akan membuat bangsa ini terjerumus dalam
lembah kapitalisme dan imperealisme. Menurutnya, kemajuan yang dimaksud Takdir
adalah civilisatie bukan kultur, ‘kulitnya’ bukan ‘kayunya’. Ini ibarat
perbedaan manusia dengan pakaiannya. Karakter seseorang terletak pada jiwanya.
Sementara pakaian hanya tampilan luar yang memperindah tampilan karakter. Jadi
dalam pandangan Adinegoro, orang-orang Indonesia tetap harus berkultur timur,
artinya berkepribadian ke-Indonesia-an, karena itulah yang membentuk karakter
kejiwaan dan kemanusiaannya.
Sampai di sini,
Soetomo, Ki Hadjar, Adinegoro dan pendukung pesantren lainnya sudah menemukan
satu obat mujarab. Yakni dalam menjawab soal alasan mereka mengangkat pesantren
di atas panggung kemodernan-kebangsaan ini. Bagi mereka, kebangsaan yang modern
tidak harus menafikan pesantren, tapi bias hadir bersama-sama. Pesantren dan
sekolah modern bisa berinteraksi dan saling tukar pengetahuan serta kebudayaan
yang terjadi di antara keduanya tanpa saling menjatuhkan. Pesantren tentu ada
kekurangannya, demikian pula konstruksi kebangsaan-modern juga ada kelemahannya.
Kemunculan Sutan Takdir
Alisjahbana dengan Poejangga Baroe-nya dalam Polemik Kebangsaan tiada lain
hanyalah untuk menjustifikasi mimpi-mimpi indah yang ditawarkan oleh pemerintah
kolonial dengan sekolah-sekolah Baratnya. Sementara untuk pesantren dan
sekolah-sekolah nasionalis lainnya, yang ditampilkan adalah mimpi-mimpi buruk
di depan mata anak-anak bangsa ini. Hal ini dilakukannya dalam rangka meng-counter
sistem pendidikan para haji dan kiai-kiai di desa-desa yang dianggap merusak
hubungan antara pemerintah kolonial dengan rakyat. Impian berbunga-bunga yang
kemudian diciptakan: untuk hidup mapan dan tidak terkena dampak Malaise
(depresi besar tahun 1930-an), masuklah sekolah Belanda, dan dari sana terbuka
masa depan yang lebih baik. Salah satu pesan sponsor yang disampaikan Sutan
Takdir adalah “Menjadi buruh berarti mendapat hidup yang senang”. Ini yang
kemudian disanggah oleh dr. Soetomo sebagai “proses buruhisasi bangsa
Indonesia” atau dalam bahasa kita kini, “proletarisasi orang-orang Indonesia”.
Demikianlah cara
Soetomo, Ki Hadjar dan Adinegoro menunjukkan model merawat tradisi dan
identitas kebudayaan bangsa ini. Sehingga menjadi relevan mengapa actor-aktor
gerakan nasionalis ini mendukung pesantren. Mereka melihat pesantren sebagai
sebuah kekuatan investasi kultural. Yakni pesantren sebagai lahan subur dan
juga kesempatan emas untuk mengimajinasi hakekat dan karakter “(ber)bangsa”.
Dalam sejarahnya pesantren memperkenalkan kepada mereka satu peradaban yang
sangat kaya dengan pencapaian-pencapaian kebudayaan dalam bidang agama, sastra,
seni dan spiritualitas –sesuatu yang belum dirusak oleh pengaruh kebudayaan
Barat.
Pesantren dianggap
sebagai aktor pengisi imajinasi kebangsaan maupun sebagai actor dekolonisasi
imajinasi dan kebudayaan. Dari konteks pesantren ini, “bangsa” digodok, diracik
dan dimapankan. Sehingga apapun yang termasuk dalam wilayah kebudayaan, yang
dianggap sebagai unsure-unsur bangsa, dirumuskan sesuai dengan hakikat
kepesantrenan itu. Dari sana mereka berbicara tentang “jiwa dan sanubari”
bangsa, tentang “kebudayaan” kita yang terjaga dalam pesantren, dan tentang
arti kemandirian, kemerdekaan dan persatuan. Demikian pula Soetomo melihat idealisme
“persatuan” dalam pesantren yang dianggap paling idealis.
Tema-tema kemerdekaan dan
persatuan itulah yang kemudian menjadi pertaruhan kalangan nasionalis, founding
fathers bangsa dan negara kita. Ini kemudian menentukan manakah arti
kemerdekaan yang sesungguhnya. Apakah yang bergantung kepada niat baik negara-negara
Barat imperialis ataukah mencari kekuatan sendiri yang mandiri dalam bangsa
sendiri. Dan pada gilirannya, ini pula sebetulnya yang menentukan soal dekat
jauhnya seseorang dengan pesantren dalam meramu hakikat kebangsaan.
[1] Sri
Haningsih, Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di
Indonesia, dalam Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi No. 1. Vol.I. 2008.
[2] Haedari
Amin, dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab Vol. II. No. 1. Juli 2007.
[3] Prof.
Drs. A. Malik Fajar, M.Sc., Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesatren,
Makalah yang diambil dari Diskusi Panel "Pola Keterkaitan Pesantren,
Perguruan Tinggi dan LSM dalam Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi
Masyarakat", yang diselenggarakan oleh Lembaga Kemahasiswaan dan Yayasan
Pembina Masjid Salman ITB, (Bandung tanpa tanggal dan tahun).
[4] http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2403/Polemik-Kebudayaan
[5]
http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/48/Adinegoro