Sidang Itsbat: Ternyata Pemerintah Salah

Ketika pertama kali membaca judulnya, saya langsung tertarik untuk membacanya karena penasaran akan isinya. Walaupun sejujurnya setelah membacanya secara utuh, menurut saya antara judul dan isi tulisan agak kurang nyambung :D... Namun demikian tetap saja saya anggap tulisan ini cukup bagus dan mampu membuka cakrawala berpikir kita dan melihat sisi lain dari sebuah perbedaan. Tulisan ini saya kutip dari sumber aslinya tanpa merubah sedikitpun.

Negara kita memang belum bisa disebut dengan Negara Islam. Tapi setidaknya ini jauh lebih baik ketimbang kita tidak punya Negara. Iya kan? Belum lagi ditambah dengan kebijakan pemerintah yang jelas-jelas sudah banyak memberikan manfaatnya buat Islam. Pesantren tumbuh di mana-mana, kebebasan untuk menjalankan ritual ibadah agama Islam juga dilindungi oleh Negara, partai-partai Islam diberi ruang yang besar untuk tumbuh dan berjuang, ormas-ormas Islam juga sangat dihargai, jilbab sudah menjamur di mana-mana, dan sederet kebaikan lainnya yang sudah Negara ini berikan kepada Islam.
Alhamdulillah, semua itu sudah lama hadir bersama kita. Untuk itu adakah yang salah jika muslim di Indonesia ini hormat dan taat kepada pemimpin-pemimpin kita yang ada di Negara ini? Terutama ketika mereka semua sudah berusaha berjalan di atas kebenaran. Lain halnya jika mereka “dengan sengaja” ingin merusak umat ini.

Sidang Itsbat
Hampir setiap tahun kita mendengar kata sidang itsbat, mungkin semua kita sudah paham dengan maksud dari kata itu. Sidang untuk menetapkan. Iya, itu dia maksudnya. Secara umum ia berguna untuk menetapkan kapan kita puasa, dan kapan kita lebaran.
Mereka sidang, rapat, musyawarah. Setelah sebelumnya disebar petugas-petugas yang profesional bekerja untuk melihat hilal (bulan), sebagai standar waktu peribadatan dalam agama Islam.
Dan mereka yang bertugas bukanlah orang yang awam seperti kita ini. Mereka orang-orang pilihan, punya banyak ilmu tentang perbintangan (falaq), ditambah dengan ulama’-ulama’ yang paham ilmu syariah.

Melihat Bulan dan Tidak Melihat Bulan
Jika kita mau jujur, sebenarnya semua ulama sepakat bahwa penentuan Ramadhan dengan melihat bulan, bukan dengan keberadaan bulan. Jika standarnya keberadaan bulan, toh selama ini dan kapan pun bulan sudah pasti ada. Cuma masalahnya terlihat atau tertutup oleh awan.
Jika terlihat bulan baru, maka kita puasa, maka kita juga lebaran. Namun jika bulan tidak terlihat (walaupun keberadaannya ada), maka baru kita berpindah ke metode lain. Menggenapkan hitungan bulan atau dengan menggunakan ilmu hisab.
Inilah pemaknaan hadits nabi berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ
“Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka kadarkanlah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَال بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابَةٌ  فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً
Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru. (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)
Dan kesemuanya itu sudah dilakukan secara benar oleh pemerintah kita. Usaha ini dinamakan dengan proses ijtihad. Jika hasil keputusan yang diambil sudah sesuai dengan aturan-aturannya, maka apapun hasilnya, itulah yang terbaik.

Pemegang Keputusan
Tidak diragukan bahwa otoritas keputusan itu dipegang oleh pemimpin yang berkuasa, dulunya saja penetapan awal Ramadhan ini juga dipegang oleh Rasul SAW, tidak ada satu pun sahabat yang berani untuk meneriakkan tentang awal Ramadhan.
Jika di antara sahabat ada yang melihat bulan, maka berita ini mereka sampaikan kepada Rasul SAW, dan biasanya Rasul SAW akan memperjelas kabar ini, jika memang yakin kebenarannya, maka akan keluar surat perintah dari Rasul agar masyarakat diberi tahu bahwa besok sudah mulai puasa.
Keputusan yang kita serahkan kepada “pemegang keputusan” ini dimaksudkan agar masyarakat yang banyak ini tidak disibukkan dan dibingungkan dengan perkara ini.
Untuk itulah Rasul SAW bersabda dalam kaitan ini dengan:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
Hari puasa adalah hari di mana semua kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari di mana semua kalian berbuka (maksudnya berlebaran). Dan hari Adha adalah hari di mana semua kalian beridul-Adha. (HR. At-Tirmidzi)
Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa perilaku melawan arus orang banyak itu bukan sesuatu yang terpuji, terkhusus untuk masalah puasa dan lebaran.  Jadi tidak boleh puasa sendirian di saat masyarakat lainnya belum berpuasa, pun begitu sebaliknya jangan berlebaran sendirian di saat yang lain belum lebaran.
Namun ada hal menarik di negeri kita ini, justru perbedaan itu yang dicari dan dikejar, sehingga ‘mungkin’ ada rasa kebahagiaan dan bangga di dalam hatinya jika berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Ya, walaupun sah-sah saja berbeda, namun dalam beberapa hal ada baiknya kita bersama.

Ternyata Pemerintah Salah
Anggap saja setelah semua keputusan selesai diambil, dan ternyata pemerintah salah, maka pemerintah tetap benar. Karena ijtihad yang dilakukan oleh pemimpin, ketika itu sudah melalui prosesnya yang benar, tidak kata dosa di sana. Justru yang adalah pahala.
“Jika seorang pemimpin itu berijtihad, lalu hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua kebaikan. Namun jika ternyata hasil ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu kebaikan” begitu Rasul SAW pernah memberikan penekanan terhadap hal penerimaan hasil ijtihad pemimpin, jika sudah dilakukan dengan prosesnya yang benar.
Ada ungkapan menarik yang dulu pernah dilontarkan oleh Ulama besar kita, beliau adalah salah satu Imam Mazhab, Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau pernah berpesan untuk kita semua dengan ungkapan: “Seseorang itu hendaknya berpuasa bersama penguasa dan jamaah mayoritas umat Islam, baik ketika cuaca cerah maupun mendung”. Pesan yang sangat bagus sekali, yang bisa menjadi pemersatu umat ini.
Wallahu A’lam Bisshowab.

Oleh: M. Saiyid Mahadhir



Read More...

Wajah Muhammadiyah Ditampar oleh Ustadz Ini

Ini adalah catatan ketika tadi siang mengikuti sebuah sholat Jum’at. Saya biasa melaksanakan sholat jum’at di Masjid Muhammadiyah, meskipun saya bukan orang muhammadiyah dan juga bukan orang NU, saya hanyalah orang islam yang berusaha menjalankan agama dengan baik dan benar, tanpa harus terikat dengan salah satu organisasi keagamaan, atau partai politik manapun.

Takmir Masjid itu, seringkali mengundang para khatib dari luar, yang biasanya sering dari Lembaga Dewan Da’wah Islam Indonesia (DDII), yang notabene beranggotakan dari berbagai kalangan dan mahzab. Nah kebetulan Ustadz yang dipanggil untuk menjadi khatib ini adalah ustadz yang mempunyai mahzab lain, dengan mahzab dan tata cara pandang Muhammadiyah dalam beragama. Ustadz ini bernama Ust. Abu Annas Abdillah, dia sudah terlihat begitu tua, tapi suaranya masih saja lantang dalam memberikan khutbah.

Ustadz ini mengambil tema tentang Menyongsong Bulan Suci Romadhon, isi materinya adalah tentang pelaksanaan puasa, yang juga membahas tentang perbedaan dikalangan ummat islam. Ustadz ini mengatakan dalam khutbahnya, bahwa ummat islam harus patuh dengan ulil amri, penguasa atau pemerintah dalam menentukan 1 romadhon, atau 1 syawwal. Ummat islam tidak boleh terpecah belah, dan membuat ummat islam yang masih awwam menjadi bingung.

Ummat islam harus kelihatan Izzahnya (kemuliaannya), dengan cara bersatu padu dalam satu barisan, dengan tetap berpegang kepada Alqur’an dan Sunnah dengan pemahaman Salafus-shalih. Jangan biarkan orang diluar islam menganggap bahwa islam itu lemah, dengan terbukti menjalankan ibadah saja saling terjadi perbedaan di antara kaum muslimin.

Ustadz ini menjelaskan demikian pentingnya tunduk dan patuh terhadap ulil amri, selama ulil amri itu tidak bermaksiat kepada Allah dan RasulNya. Ustadz Abu Annas, yang menurut saya tidak tahu bahwa Masjid yang sedang dia singgahi ini adalah Masjidnya Orang Muhammadiyah, sehingga dengan lantang dia menyuarakan kebenaran, dan memberikan stigma yang “salah” terhadap ormas yang tidak menurut dengan ulil amri.

Isi khutbah itu, seolah menampar wajah orang Muhammadiyah, yang jelas-jelas mereka undang sendiri untuk menjadi khatib di Masjid Mereka. Sekaligus, terbelalaklah pintu kebenaran, bahwa memang seharusnya kita wajib taat dan patuh terhadap pemerintah, selama pemerintah itu tidak bermaksiat kepada Allah.

==================

Selamat Menunaikan Ibadah Puasa…!!

sumber: http://filsafat.kompasiana.com/2012/07/20/wajah-muhammadiyah-ditampar-oleh-ustadz-ini/
Read More...
 
Copyright (c) 2010 Blogger templates by VLC Player