Mari Belajar Kepada Rayap

Pasti kita semua kenal dengan binatang yang bernama rayap. Rayap adalah binatang kecil yang biasa memakan kayu dan dikenal sebagai hama yang bisa merusak rumah kita. Ia menjadi musuh nomor wahid bagi bahan rumah atau perabot yang terbuat dari kayu. Kekuatan rayap sungguh luar biasa, sebuah bangunan besar saja bisa hancur oleh binatang kecil ini. Namun bukan hanya itu saja kekuatannya. Rayap ternyata juga memiliki kekuatan untuk membangun. Rayap sanggup membangun sarangnya lengkap dengan sistem Air Conditioning (pendingin ruangan) plus tata ruang yang apik dengan ketinggian bisa mencapai 9 meter. Ini merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa, sebab tubuh rayap sendiri hanya memiliki tinggi sekitar 3 mm saja. Kalau rayap sanggup membangun sarang dengan ketinggian 9 meter itu artinya rayap mampu membuat sesuatu yang besar sampai 3.000 kali lipat tinggi badannya.

Sementara manusia, dengan berbagai bahan-bahan dan peralatan yang canggih sekalipun, sampai sekarang belum mampu membangun bangunan dengan ketinggian sampai 1.000 kali tinggi badannya. Sampai saat ini bangunan tertinggi yang sudah dibuat manusia baru mencapai ketinggian sekitar 1.000 meter saja.

Bagaimana rayap bisa membangun tempat tinggalnya begitu tinggi? Setidaknya ada dua hikmah yang bisa kita dapatkan dari kehidupan rayap. Mereka bekerja sama dalam membangun sarangnya. Tubuh kecil dan lemah bisa diatasi dengan cara bekerja sama. Bekerja sama membuat mereka memilki kekuatan yang dahsyat baik dalam menghancurkan maupun dalam membangun.
Mereka bekerja dengan mengikuti insting, yang merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada makhluk ini. Mereka tidak punya ilmu arsitektur,  mereka tidak memiliki ilmu dengan pengkondisian udara dan tata ruang, bahkan mereka tidak pernah kuliah tentang cara mengawetkan makanan. Mereka mampu karena mereka hidup dalam fitrahnya.

Manusia yang seharusnya memiliki kemampuan yang jauh lebih dahsyat bisa kehilangan kemampuan itu karena disebabkan oleh dua hal, yaitu: yang pertama, jika seseorang sudah tidak mau lagi bekerja sama dengan saudaranya. Kesombongan dan keangkuhan mereka menghalangi untuk bekerja sama sehingga hasil yang diperoleh tidak optimal. "Saya bisa, saya hebat, saya mampu. Buat apa bekerja sama?". Orang-orang yang berkata seperti ini adalah mereka yang kehilangan banyak potensi keberhasilan dalam hidupnya.
Hikmah kedua, banyak manusia yang sudah melenceng jauh dari fitrahnya. Mereka hidup dengan cara mereka sendiri. Cara yang diproduksi oleh akalnya sendiri yang sungguh lemah dan banyak kekurangan. Padahal kita sudah punya cara hidup yang sangat sesuai dengan fitrah manusia, karena cara hidup ini dibuat oleh Pencipta kita. Cara hidup itu adalah Al Quran dan Hadits Nabi Saw.

Mudah-mudahan melalui gemblengan selama bulan ramadhan ini, kita semua kembali kepada fitrah kita. Menjadi manusia yang selalu butuh akan sesamanya serta memiliki jiwa sosial yang tinggi. Maka dengan demikian kita bisa mengembalikan potensi kita yang sebenarnya. Potensi untuk meraih sukses dunia maupun akhirat. Amin.

 [Dikutip dari berbagai sumber]
Read More...

Mesjid Yess, Gereja No Way

Cerita ini terjadi saat saya masih menjadi dosen di sebuah PTN di Kalimantan. Suatu hari sebuah perbincangan sambil menyelesaikan suatu urusan dengan staf administrasi di kampus menyerempet ke sebuah isu sensitif.
“Hampir saja kita kecolongan, Bang”, kata staf administrasi yang berjilbab itu mengadu, setelah sekian lama tak bertemu saya karena saya lama meninggalkan tanah air untuk tugas belajar.
“Ada apa?”, tanya saya.
“Iya, beberapa waktu lalu orang-orang Kristen berniat mendirikan gereja di kampus ini. Untung kita cepat tahu, lalu bergerak mencegahnya. Alhamdulillah kita berhasil.”
“Kenapa dicegah? Kenapa dihalangi?”
“Lho, kan…..”
“Mbak, saya ini hampir 8 tahun tinggal di Jepang. Selama itu saya jadi minoritas dalam hal agama. Coba Anda bayangkan bagaimana rasanya kalau niat saya hendak membangun mesjid atau beribadah selama saya berada di Jepang dihalangi orang.”
“Mbak mengkhawatirkan kristenisasi?” tanya saya. Ia mengangguk.
“Apa iya kalau berdiri gereja di kampus ini lantas orang berbondong-bondong masuk Kristen?”.
Ia lalu terdiam, dan percakapan kami berakhir.
+++

Pola fikir staf administrasi tadi sebenarnya pernah saya anut. Waktu itu saya masih kuliah di UGM dan aktif di organisasi dakwah kampus. Saat itu di UGM belum ada mesjid, dan kami sedang bersiap untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan mesjid. Mantan Rektor, alm. Koesnadi Hardjasoemantri menjadi ketua panitia.

Saat itu kami mendengar bahwa orang-orang Kristen akan mendirikan gereka di kampus. Lokasinya tak jauh dari lahan yang hendak digunakan untuk membangun mesjid. Kami langsung bereaksi. Rencana pembangunan gereja ini harus dihentikan!
Kami, beberapa aktivis Islam di kampus melakukan berbagai lobi. Yang terutama tentu kepada Rektor. Pergilah kami menghadap Rektor, menanyakan soal rencana itu, dan tentu saja (niatnya) menekan Rektor agar membatalkan atau mencegah rencana itu kalau benar adanya.
Sambil menunggu di ruang tamu kantor Rektor, kami berbincang dengan sekretaris Rektor. Topiknya tentu soal yang sama dengan yang hendak kami adukan ke Rektor. Lucunya, belakangan baru kami tahu bahwa sekretaris Rektor tadi adalah seorang penganut agama Kristen. Ampun, deh!
+++

Pola fikir saya berubah saat saya merasakan pengalaman menjadi minoritas. Yaitu saat saya kuliah di Jepang. Saya pernah tinggal di kota kecil di bagian selatan Jepang. Jumlah orang Islam di kota itu sangat sedikit. Tak lebih dari 50 orang. Hampir semua adalah mahasiswa asing.
Karena jumlah kami kecil, kami tak mampu untuk sekedar menyewa apartemen untuk digunakan sebagai mesjid, sebagaimana dilakukan oleh muslim di berbagai kota. Kami mengandalkan kebaikan hati satu dua profesor yang mau meminjamkan ruangan di kampus untuk dijadikan mushalla.
Suatu ketika kami tak lagi diperbolehkan memakai ruangan itu. Alasan pihak kampus, ruangan itu akan dipakai untuk keperluan akademik. Lagipula Jepang adalah negara sekuler, urusan peribadatan warga tidak boleh melibatkan fasilitas milik pemerintah. Saat itu kami benar-benar kesulitan. Kami harus salat Jumat berpindah-pindah tempat. Untunglah akhirnya ada profesor yang mau membantu mencarikan ruangan untuk dijadikan mushalla.

Di kota lain di mana saya pernah tinggal juga, kami menyewa dua ruangan apartemen untuk dijadikan mushalla. Di situlah kami melaksanakan shalat Jumat serta pengajian. Bagian lain dari apartemen ini adalah tempat tinggal yang disewa oleh orang lain, orang Jepang. Kami harus berhati-hati agar aktivitas kami tidak mengganggu kenyamanan mereka.
Kami mengumpulkan dana untuk pembangunan mesjid. Belasan tahun diperlukan hingga akhirnya dana itu terkumpul. Baru 3 tahun yang lalu kota tempat saya tinggal itu memiliki mesjid. Untungnya pemerintah Jepang yang sekuler itu tidak menghalangi. Selama syarat-syarat mendirikan bangunan dipatuhi tidak ada masalah.
Semua kejadian yang saya alami di Jepang itu mengingatkan saya pada nasib minoritas, khususnya orang Kristen di Indonesia. Mereka sering kesulitan mendirikan gereja. Beribadah di ruko atau di rumah milik sendiri pun sering diganggu. Kami, muslim yang minoritas di Jepang, untungnya tidak mengalami hal itu. Alangkah indahnya kalau minoritas di negeri muslim juga tidak mengalami hal itu.
+++

Kembali ke cerita di kampus tempat saya kerja tadi. Di kampus ini ada mesjid yang cukup besar. Dulu dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Lalu, di setiap fakultas didirikan mushalla yang juga tak kecil. Tapi itu pun ternyata tak cukup. Di banyak bangunan di fakultas masih saja ada ruangan yang difungsikan sebagai mushalla. Bagi mereka yang malas untuk ke mushalla fakultas, bisa shalat di mushalla kecil ini. Yang sedikit rajin berjamaah di mushalla fakultas. Yang lebih rajin, ke mesjid.
Melihat ini semua saya merasa sesak. Keterlaluan benar orang muslim ini.
Jaman Rasulullah masih hidup, di Madinah hanya ada satu mesjid. Apa umat Islam ketika itu tidak mampu membangun lebih dari satu? Rasanya tak mungkin. Orang-orang ketika itu rela menyumbangkan apa saja untuk Islam. Mesjid hanya satu dengan tujuan persatuan. Di situlah semua orang berjamaah, bersilaturrahmi. Di satu tempat.

Kota Madinah ketika itu memang kota kecil. Saya tentu tak berharap kota sebesar Jakarta hanya punya satu mesjid. Itu tak masuk akal. Tapi saya yakin kota Madinah di jaman itu lebih besar dari area kampus saya. Kalau Madinah cukup dengan satu mesjid, kenapa kampus tidak? Kenapa kampus masih perlu ditambah dengan beberapa mushalla, plus puluhan ruangan untuk pengganti mushalla?
Dalam situasi yang sudah berlebih itu, orang Islam masih ribut ketika orang Kristen hendak mendirikan satu gereja. Hanya satu gereja saja.
Adilkah kita ini? Tidakkah kita ini berlebihan? Seingat saya tidak adil dan berlebihan adalah dua sifat yang dibenci Allah.

sumber: http://berbual.com
Read More...
 
Copyright (c) 2010 Blogger templates by VLC Player