alt text

Hukum Mempelajari Fiqih

Melalui catatan sederhana ini, penulis mencoba untuk menguraikan hukum tentang mempelajari ilmu fiqih bagi setiap muslim

Link #1
alt text

Miskin Dilarang Sakit

Banyak kasus menggambarkan bahwa kematian atau kegagalan pengobatan yang dialami akibat ketidakadaan biaya

Link #2
alt text

Mari Belajar Kepada Rayap

Rayap sanggup membangun sarangnya lengkap dengan sistem pendingin ruangan plus tata ruang yang apik dengan ketinggian bisa mencapai 9 meter

Link #3
alt text

Mesjid Yess Gereja No Way

Orang-orang Kristen berniat mendirikan gereja di kampus ini. Untung kita cepat tahu, lalu bergerak mencegahnya. Alhamdulillah kita berhasil

Link #4

Top Stories

Pesantren Sistem Pendidikan Asli Indonesia

  • Thursday, November 7, 2013
  • by
  • abiraghib
  • Sebuah Review atas Buku Pesantren Studies Jilid 2a
    Bab 1 – Pesantren, Karakter (Ber)Bangsa:
    Refleksi dari Sebuah Perdebatan di Masa Kolonial
    Pesantren merupakan institusi yang banyak dipuji orang, khususnya masyarakat muslim, demikian juga dengan keberadaan Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia. Namun di saat yang sama sering pula mendapat kecaman dan dilabelkan sebagai institusi yang banyak “menghambat” kemajuan Islam. Kontroversi mengenai pesantren seperti itu secara tidak langsung telah menempatkan pesantren sebagai  institusi yang cukup penting untuk  selalu diperhatikan. Pandangan positif akan menempatkan kontroversi tersebut sebagai peluang untuk memperkuat peran pesantren itu sendiri.[1]
    Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia, sekalipun demikian informasi-informasi lain membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren, madrasah, merupakan adaptasi dari sistem pendidikan yang telah dikembangkan sebelumnya. Satu informasi mengatakan bahwa, pesantren, madrasah dan sekolah Islam seperti dikemukakan  pendapat pertama yaitu merupakan kelanjutan  dan penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau masa kekuasaan Hindu-Budha, Nurcholis Madjid setuju  dengan pendapat ini. Sebagaimana disebutkan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu-Budha, lalu Islam meneruskan dan meng-Islamkannya.[2]
    Berbicara tentang pesantren, khususnya di era penjajahan, bukan sekedar membahas sebuah sistem pendidikan, tentang arah dan tujuan pengajaran, kurikulum, buku teks-teks pelajaran yang digunakan atau tentang guru dan rekrutmen murid. Melainkan lebih dari itu, adalah juga berbicara mengenai arah, tujuan dan desain seperti apakah bangsa ini dibuat untuk masa mendatang – pasca penjajahan. Hal ini tergambar jelas dalam sebuah perdebatan tentang pesantren pada tahun 1930-an yang melibatkan sejumlah pihak. Perdebatan berlangsung di sebuah media berbahasa Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Polemik Kebudayaan”.
    Salah seorang cendekiawan yang terlibat dalam polemik tersebut ialah dr. Soetomo. Yang menarik dari pemikiran Soetomo adalah anjurannya agar asas-asas sistem pendidikan pesantren digunakan sebagai dasar pembangunan pendidikan nasional Indonesia. Meskipun pemikiran Soetomo kurang mendapat tanggapan yang berarti, tetapi patut digarisbawahi bahwa paling tidak pesantren telah dilihat sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam proses pembentukan identitas budaya bangsa Indonesia. Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan pendidikan di Indonesia, agaknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren telah menjadi semacam local genius.[3]
    Bisa disimpulkan dari paparan dr. Soetomo, yang paling ditekankan adalah bahwa persatuan demikian penting di antara berbagai elemen kebangsaan, dengan sistem pendidikan pesantren sebagai elemen pemersatu. Kemudian ketika menekankan pentingnya pesantren dari sudut kesederhanaan dan kedalaman pendidikan keagamaan-kebangsaannya, Soetomo menggarisbawahi pentingnya elemen agama dalam ideologi kebangsaan agar tidak sekuler seratus persen. Perdebatan tentang pesantren di media publik seperti ini juga pernah terjadi sebelumnya di tahun 1876 dalam edisi April hingga Juli Jurnal Jurumartani, sebuah jurnal berbahasa Jawa yang terbit di Surakarta sejak tahun 1855. Perdebatannya seputar soal plus-minus sekolah barat dan pesantren. Tapi cakupan debatnya belum menyentuh isu sensitif tentang desain bangsa kita untuk merdeka pasca penjajahan.
    Poin inilah yang kemudian menjadi sasaran dan target orang-orang seperti Sutan Takdir Alisjahbana dan pengikutnya di Balai Pustaka maupun dalam Poedjangga Baroe. Mereka menafikan segenap klaim-klaim legitimasi keberadaan pesantren untuk kepentingan basis dan pilar-pilar ideologi nasionalis tersebut. Pesantren oleh Soetomo tidak ditempatkan sebagai sesuatu yang arkaik (kuno), ketika sekolah-sekolah modern bermunculan. Pesantren justru dihadirkan untuk menjawab persoalan dan tantangan kekinian. Ini berarti Soetomo mengakui pesantren bisa menjadi aktor inspirasi bagi roh kebangsaan ini: persatuan, kemandirian, kesejahteraan, kemerdekaan dan kerakyatan. Oleh sebagian kalangan nasionalis, pesantren bukanlah antithesis terhadap ideologi ke-Indonesia-an melainkan bagian integral dari denyut nadi kehidupan bangsa Indonesia itu sendiri.
    Senada dengan Soetomo, ada Ki Hadjar Dewantara dan Sutopo Adiseputero yang mengemukakan sikap serupa tentang pesantren. Meski dengan perbedaan tekanan, tapi semangat mereka sama yakni bagaimana menempatkan pesantren sejajar dengan sistem sekolah modern, bahkan sebagai penentu dalam konstruksi kebangsaan. Ki Hadjar Dewantara misalnya menyampaikan sesuatu yang tegas tentang pengintegrasian pesantren ke dalam konstruksi ke-Indonesiaan-an. Hal ini mula-mula dilontarkannya dalam kongres pertama PPPKI di Surabaya pada 30 Agustus – 2 September 1928, yakni ide tentang nationaal onderwijs atau pengajaran kebangsaan.
    Dua bulan kemudian Ki Hadjar mempertegas keberpihakannya terhadap sisi baik pesantren dengan menulis dalam media Taman Siswa, Wasita, edisi November 1928 dengan judul “Systeem Pondok dan Asrama itulah Systeem Nasional”. Selang dua tahun kemudian Ki Hadjar Dewantara mengemukakan pula hal serupa dalam kongres pertama Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa Ki Hadjar mengikuti arah yang juga dilalui oleh dr. Soetomo dalam soal peran pesantren dalam konteks kebangsaan. Bahwa pesantren menyumbang banyak hal dalam membentuk sifat dan karakter pengajaran nasional sebagai lawan pendidikan kolonial. Sifat kedekatan pesantren dengan rakyat memperkaya pendidikan kultural dan kerohanian masyarakat, memupuk solidaritas, serta ikut mengukuhkan semangat kebangsaan; persatuan, kemandirian dan kemerdekaan. Sifat dan karakter inilah yang kemudian mengundang perdebatan, bahkan terus berulang hingga kini.
    Apa yang ditulis Soetomo dan Ki Hadjar mengusik kepala Sutan Takdir Alisjahbana. Menurut Sutan Takdir, kembali ke pesantren berarti kembali kepada anti-intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialistik. Dalam polemik sebelumnya dengan Sanusi Pane dan Poerbatjaraka, ia menyebut masa pra-Indonesia sebagai zaman jahiliyah. Sutan Takdir dalam tulisannya Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia – Pra-Indonesia (Poedjangga Baroe, 2 Agustus 1935) membedakan "zaman pra-Indonesia" (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan "zaman Indonesia" (yang mulai pada awal abad ke-20). Ia menegaskan tentang lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambugan dari generasi sambungan Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin atau Sunda. Karenanya tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat.[4]
    Kemudian ketika pesantren diangkat kembali di era modern –era perdebatan ini– maka itu dilihat mewakili traditie. Dan itu artinya sama dengan masa jahiliyah. “Traditie menjadi undang-undang besi yang tiada dapat dilanggar orang”, tandas Takdir. Ada beberapa hal baik yang diakui oleh Takdir sebagai karakter pesantren: persatuan, biaya terjangkau, pendidikan kemerdekaan, model pendidikan yang mengakar ke masyarakat, dst. Tapi bagi Takdir sebutan pesantren, kiai, santri adalah hal-hal yang tidak masuk dalam lingkup pemikirannya dan tidak ada dalam “database” inteleknya.
    Bahkan Sutan Takdir dengan sengaja menyerang eksistensi pesantren dan Soetomo sekaligus dengan bahasa kasar dan destructief: “Apabila Tuan dr. Soetomo mengatakan terpecah-belahnya persatuan yang berpusat kiai itu racun bagi bangsa kita, saya menyebut perpecahan persatuan yang demikian ini ialah obat yang semujarab-mujarabnya, semangat persatuan yang berpusat kiai dan pesantren yang menyebabkan jatuhnya bangsa kita”. Kita dapat pahami dari buah pikiran Sutan Takdir tersebut sedikit membuktikan bahwa dia adalah seorang yang pro imperealisme, setidaknya tulisan-tulisannya mengarah kepada propaganda anti kemerdekaan dan mengangkat sisi baik status quo.
    Dokter Soetomo membantah keras pandangan modernis tersebut, bahkan balik menyerang acuan ideologis Sutan Takdir tentang intelektualisme, individualisme, egoisme dan materialistik. Sekolah-sekolah Belanda seperti HIS, kata Soetomo, adalah “racun bagi anak Indonesia” –meski ia sendiri dikader dalam sekolah-sekolah colonial semacam ini. Ini berarti Soetomo bias memilah-milah dengan bijak antara model pesantren dan sekolah modern.
    Sementara Adinegoro –Adinegoro merupakan nama samaran dari Djamaludin yang bergelar Datuk Maharadja Sutan– seorang wartawan terkemuka dan novelis yang lahir di Talawi Sumatra Barat,[5] menyebut kampanye Takdir tersebut akan membuat bangsa ini terjerumus dalam lembah kapitalisme dan imperealisme. Menurutnya, kemajuan yang dimaksud Takdir adalah civilisatie bukan kultur, ‘kulitnya’ bukan ‘kayunya’. Ini ibarat perbedaan manusia dengan pakaiannya. Karakter seseorang terletak pada jiwanya. Sementara pakaian hanya tampilan luar yang memperindah tampilan karakter. Jadi dalam pandangan Adinegoro, orang-orang Indonesia tetap harus berkultur timur, artinya berkepribadian ke-Indonesia-an, karena itulah yang membentuk karakter kejiwaan dan kemanusiaannya.
    Sampai di sini, Soetomo, Ki Hadjar, Adinegoro dan pendukung pesantren lainnya sudah menemukan satu obat mujarab. Yakni dalam menjawab soal alasan mereka mengangkat pesantren di atas panggung kemodernan-kebangsaan ini. Bagi mereka, kebangsaan yang modern tidak harus menafikan pesantren, tapi bias hadir bersama-sama. Pesantren dan sekolah modern bisa berinteraksi dan saling tukar pengetahuan serta kebudayaan yang terjadi di antara keduanya tanpa saling menjatuhkan. Pesantren tentu ada kekurangannya, demikian pula konstruksi kebangsaan-modern juga ada kelemahannya.
    Kemunculan Sutan Takdir Alisjahbana dengan Poejangga Baroe-nya dalam Polemik Kebangsaan tiada lain hanyalah untuk menjustifikasi mimpi-mimpi indah yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial dengan sekolah-sekolah Baratnya. Sementara untuk pesantren dan sekolah-sekolah nasionalis lainnya, yang ditampilkan adalah mimpi-mimpi buruk di depan mata anak-anak bangsa ini. Hal ini dilakukannya dalam rangka meng-counter sistem pendidikan para haji dan kiai-kiai di desa-desa yang dianggap merusak hubungan antara pemerintah kolonial dengan rakyat. Impian berbunga-bunga yang kemudian diciptakan: untuk hidup mapan dan tidak terkena dampak Malaise (depresi besar tahun 1930-an), masuklah sekolah Belanda, dan dari sana terbuka masa depan yang lebih baik. Salah satu pesan sponsor yang disampaikan Sutan Takdir adalah “Menjadi buruh berarti mendapat hidup yang senang”. Ini yang kemudian disanggah oleh dr. Soetomo sebagai “proses buruhisasi bangsa Indonesia” atau dalam bahasa kita kini, “proletarisasi orang-orang Indonesia”.
    Demikianlah cara Soetomo, Ki Hadjar dan Adinegoro menunjukkan model merawat tradisi dan identitas kebudayaan bangsa ini. Sehingga menjadi relevan mengapa actor-aktor gerakan nasionalis ini mendukung pesantren. Mereka melihat pesantren sebagai sebuah kekuatan investasi kultural. Yakni pesantren sebagai lahan subur dan juga kesempatan emas untuk mengimajinasi hakekat dan karakter “(ber)bangsa”. Dalam sejarahnya pesantren memperkenalkan kepada mereka satu peradaban yang sangat kaya dengan pencapaian-pencapaian kebudayaan dalam bidang agama, sastra, seni dan spiritualitas –sesuatu yang belum dirusak oleh pengaruh kebudayaan Barat.
    Pesantren dianggap sebagai aktor pengisi imajinasi kebangsaan maupun sebagai actor dekolonisasi imajinasi dan kebudayaan. Dari konteks pesantren ini, “bangsa” digodok, diracik dan dimapankan. Sehingga apapun yang termasuk dalam wilayah kebudayaan, yang dianggap sebagai unsure-unsur bangsa, dirumuskan sesuai dengan hakikat kepesantrenan itu. Dari sana mereka berbicara tentang “jiwa dan sanubari” bangsa, tentang “kebudayaan” kita yang terjaga dalam pesantren, dan tentang arti kemandirian, kemerdekaan dan persatuan. Demikian pula Soetomo melihat idealisme “persatuan” dalam pesantren yang dianggap paling idealis.
    Tema-tema kemerdekaan dan persatuan itulah yang kemudian menjadi pertaruhan kalangan nasionalis, founding fathers bangsa dan negara kita. Ini kemudian menentukan manakah arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Apakah yang bergantung kepada niat baik negara-negara Barat imperialis ataukah mencari kekuatan sendiri yang mandiri dalam bangsa sendiri. Dan pada gilirannya, ini pula sebetulnya yang menentukan soal dekat jauhnya seseorang dengan pesantren dalam meramu hakikat kebangsaan.






    [1] Sri Haningsih, Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia, dalam Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi No. 1. Vol.I. 2008.
    [2] Haedari Amin, dalam Jurnal Pondok Pesantren Mihrab Vol. II. No. 1. Juli 2007.
    [3] Prof. Drs. A. Malik Fajar, M.Sc., Sintesa Antara Perguruan Tinggi dan Pesatren, Makalah yang diambil dari Diskusi Panel "Pola Keterkaitan Pesantren, Perguruan Tinggi dan LSM dalam Pendidikan dan Pengembangan Ekonomi Masyarakat", yang diselenggarakan oleh Lembaga Kemahasiswaan dan Yayasan Pembina Masjid Salman ITB, (Bandung tanpa tanggal dan tahun).
    [4] http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2403/Polemik-Kebudayaan
    [5] http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/48/Adinegoro
    Read More...

    Penelusuran Manuskrip Tentang Pesantren dan Islam Nusantara

  • Wednesday, October 23, 2013
  • by
  • abiraghib
  • Manuskrip adalah naskah kuno tulisan tangan karya orang terdahulu yang menjadi kajian filologi. Pengertian manuskrip saat ini perlahan meluas menjadi segala bentuk naskah tertulis yang biasanya telah berusia ratusan tahun lalu yang dibuat manusia baik terkait ilmu pengetahuan, kesusasteraan, undang-undang, ketatanegaraan dan lain sebagainya.  Berbagai manuskrip ini masih tersimpan rapi di beberapa museum dan perpustakaan, walaupun ada juga beberapa manuskrip ditemukan di beberapa daerah dalam kondisi tidak terawat atau rusak.
    Penelusuran manuskrip ini merupakan tugas dari mata kuliah Pesantren Studies dengan dosen pengampu Ahmad Baso. Sebelum mengikuti perkuliahan ini saya belum begitu memahami apa yang dimaksud dengan manuskrip yang sesungguhnya. Namun dengan bekal pengetahuan yang minim saya mencoba untuk melakukan penelusuran manuskrip tentang pesantren dan Islam Nusantara ini ke Perpustakaan Nasional yang beralamat di Jalan Salemba Raya Jakarta Pusat. Kunjungan ke gedung Perpustakaan Nasional ini merupakan kunjungan pertama bagi saya, sehingga ada hikmah positif yang dapat dipetik dari perjalanan ini, yaitu apabila tidak ada tugas dari Pak Ahmad Baso maka saya mungkin tidak pernah datang ke Perpustakaan Nasional.
    Di lobbi perpustakaan tersebut petugas keamanan memberi tahu saya agar mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk menjadi anggota, karena jika tidak maka saya tidak mendapatkan izin akses masuk ke dalam walaupun hanya sekedar untuk membaca atau melihat-lihat. Untuk itu pertama-tama saya harus mengantri untuk membuat kartu anggota, sebagai informasi saja bahwa pembuatan kartu anggota perpustakaan nasional tidak dipungut biaya alias gratis.
    Sesudah membuat kartu anggota barulah saya diizinkan masuk dan langsung naik ke lantai 2 dimana saya mencari terlebih dulu katalog buku atau koleksi manuskrip yang saya cari. Setelah membuka-buka katalog dan mendapat bantuan informasi dari petugas kemudian saya menuju ke lantai 5, tempat menyimpan koleksi ratusan bahkan mungkin ribuan manuskrip Nusantara. Di sana saya menyerahkan nomor kode atau katalog manuskrip kepada petugas ruangan manuskrip yang kemudian membantu mencarikan naskah yang saya cari.
    Ternyata tidak semua naskah manuskrip yang ada dalam katalog dapat dipinjamkan kepada pengunjung dengan alasan kondisi naskah yang sudah rusak parah karena dimakan usia ataupun sedang dalam perbaikan (restorasi). Sehingga saya sarankan kepada sahabat-sahabat yang akan berkunjung ke sana untuk melakukan penelusuran manuskrip agar mempunyai katalog cadangan naskah lainnya selain dari katalog yang kita inginkan. Sebagaimana yang dialami oleh saya, pada mulanya dengan percaya diri saya hanya mengajukan satu katalog naskah yang dianggap paling sesuai dengan kebutuhan tugas mata kuliah Pesantren Studies ini, namun ternyata naskah yang diminta tidak dapat dipenuhi oleh petugas dengan alasan di atas. Kejadian ini terus berulang sampai saya mengajukan katalog naskah ke empat dengan kode bertuliskan BR196 – Do’a Chatam Koer’an yang akhirnya saya dapat.
    Dengan kemampuan yang dimiliki ala kadarnya saya pun mencoba untuk melakukan pengkajian terhadap isi naskah tersebut. Dari beberapa lembar halaman naskah yang saya –dibantu beberapa teman– kaji, sebagian besar naskah masih dapat terbaca dan dimengerti dengan baik. Ada sebagian kata-kata yang kami temukan kurang dapat dimengerti karena sebagian tintanya sudah pudar dimakan usia, selain juga ada beberapa kata yang sudah tidak popular lagi digunakan pada masa kini.
    Permasalahan ini tentu sering saya temukan mengingat naskah manuskrip yang saya kaji sudah berusia sekitar 243 tahun. Hal ini dapat diketahui dari lembar halaman paling akhir naskah tersebut, dimana penulisnya mencantumkan tanggal bulan dan tahun dibuatnya tulisan itu yakni pada bulan April 1772 M. Dari beberapa teks yang mampu kami baca dapat disimpulkan isi naskah tidak terlalu sesuai dengan judul yang tertulis dalam katalog. Ternyata isinya hampir sama atau lebih mirip dengan apa yang kita sebut sekarang ini sebagai do’a tahlil dalam rangka mendoakan orang yang sudah mati. Sebagaimana dalam halaman pertama naskah disebutkan:
    “Bismillahirrohmanirrohim.

    Bab bermula, ketahui olehmu hai tholib bahwa inilah do’a hatimil qur’an orang mati, maka membaca inilah. Pertama-pertama membaca bismillahir rohmanirrohim, Qul huwa Allahu ahad sampai kepada akhirnya tiga kali, maka pada akhirnya Laa ilaa ha illa Allah Allahu akbar sekali, maka membaca pula bismillahir rohmanirrohim Qul a’udzu bi robbil falaq sampai kepada akhirnya, Laa ilaa ha illa Allah Allahu akbar. Kemudian membaca Qul a’udzu bi robbinnaas hingga akhirnya…”


    Read More...

    Peranan Jaringan Ulama di Indonesia

  • Tuesday, October 1, 2013
  • by
  • abiraghib
  • Secara geografis, kawasan muslim Asia Tenggara juga sering disebut Dunia Melayu-Indonesia, terletak di pinggiran (periphery) dunia Islam. Lebih jauh, kawasan ini juga mempresentasikan salah satu bagian dunia Islam yang paling sedikit mengalami Arabisasi. Meskipun demikian, perkembangan Islam di Asia Tenggara tidak dapat dipisahkan dari perkembangan Islam di Timur Tengah. Dalam konteks ini, jaringan ulama internasional yang berpusat di Haramain memainkan peran krusial dalam transmisi dorongan (impulse) pembaruan pada abad ke-17 dan ke-18 ke kawasan Dunia Melayu-Indonesia.

    Hubungan kuat dan intensif antara kaum muslim di Asia Tenggara dan saudara seiman mereka di Timur Tengah telah tersipta sejak waktu yang sangat duni kehadira Islam di Dunia Melayu-Indonesia. Pada mulanya, kontak di kalangan mereka terjalin melalui perdagangan antara Asia Tenggara dan Timur Tengah. Para pedagang dari Timur Tengah banyak dan sering mengunjungi kota-kota di Asia Tenggara; mereka terlibat tidak hanya dalam perdagangan ,tetapi juga, pada batas tertentu, dalam memperkenalkan Islam kepada penduduk pribumi. Banyak penduduk Muslim di kawasan ini pergi ke pusat-pusat Islam di Timur Tengah. Kebanyakan mereka pergi ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji. Namun, ada juga dari mereka yang sengaja tinggal dan belajar di sana tentang berbagai ilmu Islam untuk beberapa waktu. Ini menyebabkan munculnya hal yang disebut orang-orang Makkah dan Madinah sebagai komunitas “Jawi” (ashabu al-Jawiyyin) di Tanah Suci, sekalipun tidak semua dari mereka berasal dari Jawa.

    Dengan mempertimbangkan hubungan ekonomi, diplomatik, dan sosial yang luas dan intensif di antara kerajaan-kerajaan Muslim di dunia Melayu-Indonesia dan Timur Tengah memungkinkan bahwa para murid Jawi telah menuntut ilmu Islam sebelum abad ke-17. Sangat disayangkan, kurangnya sumber informasi menjadikan upaya untuk merekonstruksi sejarah awal murid-murid Jawi di Timur Tengah menjadi sangat sulit, namun upaya mesti tetap dilakukan. Catatan-catatan Barat dari abad ke-15 merupakan sumber-sumber yang penting. Namun, sumber-sumber Barat menawarkan hanya sedikit mengenai Islam dengan wajah keagamaan yang mempresentasikan meluasnya suatu komunitas keagamaan dunia. Untuk mengungkapkan dimensi ini, orang harus menemukan garis-garis tradisi intelektual yang terlihat dalam studi pencarian keilmuan Islam. Jika ini tidak dilakukan, akan sulit melacak jaringan yang merangsang dan memelihara urat nadi dinamika Islam dan kehidupan sosial di kawasan ini.

    Jaringan Ulama Internasional
    Kehidupan keagamaan Islam pada masa-masa akhir abad pertengahan dapat ditandai oleh ketegangan antara Islam Ortodoks dan Sufisme. Meskipun demikian, berbagai upaya telah mulai dilakukan pada abad ke-3 H/9 M di dalam lingkungan sufi untuk menjembatani jurang antara Islam Ortodoks dan Sufisme, serta menjaga agar tetap berada dalam batas-batas yang bisa diteloransi.

    Pada perempatan terakhir abad ke-4 H/10 M, gerakan yang berhasil mencapai puncaknya pada karya Al-Ghazali berhasil mencapai suatu sintesis antara sufisme dan kalam yang umumnya dapat diterima oleh ortodoksi dan dikukuhkan oleh ijma'. Adalah jelas bahwa setelah gerakan sufisme menguasai dunia Muslim selama abad ke-6 H/12 M dan ke-7 H/13 M, secara emosional, spiritual dan intelektual di kalangan para ulama terdapat kesadaran yang semakin kuat bahwa hampir tidak mungkin bagi mereka mengabaikan kekuatan sufisme secara keseluruhan. Objek dan isi pemusatan rohani tersebut kini diidentifikasikan dengan doktrin ortodoks, sedangkan tujuan sufisme dirumuskan kembali sebagai upaya penguatan keimanan dalam batas-batas syariat guna mencapai kemurnian batin.

    Tampaknya komunitas ulama, terutama yang berpusat di Makkah dan Madinah memainkan peran penting dalam perkembangan tersebut. Karena peran sentral tersebut, tidaklah mengherankan jika kedua kota itu semakin menjadi vocal point yang krusial dan tempat pertemuan para ulama dari seluruh dunia Muslim. Dengan demikian, sebuah jaringan ulama yang bersifat kosmopolit muncul dari Haramain. Meningkatnya kosmopolitanisme dalam jaringan ulama internasional sudah barang tentu membantu para pencari ilmu untuk memperluas horizon intelektual mereka.

    Inti jaringan ulama adalah para ulama terkemuka dan berpengaruh di Makkah dan Madinah, baik warga pribumi maupun mereka mereka yang berasal dari wilayah dunia muslim lain yang telah menetap secara permanen di sana. Dengan kata lain, mereka yang terlibat dalam jaringan ini, guru maupun murid, lahir dan pertama kali belajar ilmu-ilmu Islam di wilayah yang terbentang mulai Hijaz, Persia, India dan Indonesia sampai ke Mesir dan Maroko. Kelompok ini secara keseluruhan mengadakan banyak perjalanan dan sedikit dari mereka yang mendapatkan pendidikan dari satu atau dua tempat saja.

    Analisis lebih jauh tentang komunitas intelektual menampakkan gambaran yang menarik. Lebih-lebih lagi, komunitas ini mempresentasikan kesinambungan yang kuat terhadap penekanan baru atas berbagai disiplin ilmu, terutama telaah hadits yang tidak hanya berdasarkan Kutub Al-Sittah dan buku-buku pada abad pertengahan yang diterbitkan atas dasar keenam kumpulan hadits tersebut. Dalam telaah hadist, perkembangan semacam ini jelas berkaitan dengan niat yang berkesinambungan di antara ulama untuk memperbarui sufisme. Model yang digunakan untuk masyarakat ideal adalah komunitas yang digambarkan oleh hadits. Jadi, ada suatu perubahan yang bertahap mengenai penekanan pada telaah hadits; sekarang kebanyakan ulama mempelajari hadits untuk tujuan praktis daripada alasan akademis. Telaah hadits kini digunakan lebih banyak untuk memberikan suatu standar penilaian atas praktik-praktik di kalangan kaum muslimin pada masa itu. ***


    Sumber: Buku Islam Nusantara karya Prof. Dr. Azzumardi Azra, MA.
    Read More...

    Hikmah Diturunkannya Al Qur'an Secara Bertahap

  • Saturday, May 25, 2013
  • by
  • abiraghib
  • Sebagai wahyu, surah-surah dan ayat-ayat Al Qur'an diturunkan oleh Allah Swt secara bertahap selama kurang lebih 22 tahun masa kenabian Muhammad Saw. Hikmah diturunkannya Al Qur'an secara berangsur-angsur adalah:
    1. untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad Saw dengan cara mengingatkannya secara terus menerus.
    2. supaya lebih mudah dimengerti dan diamalkan oleh para pengikutnya.
    3. menjadi jawaban atas penjelasan dari sebuah pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad Saw.
    4. hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Qur'an mudah diterapkan secara bertahap.
    5. dapat lebih mudah untuk dihafalkan.
    Ayat yang pertama kali turun adalah surah Al Alaq. Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad Saw sedang menyendiri dan berkontemplasi di Gua Hira pada malam 17 bulan Ramadhan atau bertepatan dengan tanggal 6 Agustus 610 M. Beberapa waktu kemudian turunlah wahyu kedua, yaitu surah Al Mudatsir. Dalam surat tersebut Allah Swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad Saw untuk menyerukan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia.
    Read More...

    Sidang Itsbat: Ternyata Pemerintah Salah

  • Wednesday, July 25, 2012
  • by
  • abiraghib
  • Ketika pertama kali membaca judulnya, saya langsung tertarik untuk membacanya karena penasaran akan isinya. Walaupun sejujurnya setelah membacanya secara utuh, menurut saya antara judul dan isi tulisan agak kurang nyambung :D... Namun demikian tetap saja saya anggap tulisan ini cukup bagus dan mampu membuka cakrawala berpikir kita dan melihat sisi lain dari sebuah perbedaan. Tulisan ini saya kutip dari sumber aslinya tanpa merubah sedikitpun.

    Negara kita memang belum bisa disebut dengan Negara Islam. Tapi setidaknya ini jauh lebih baik ketimbang kita tidak punya Negara. Iya kan? Belum lagi ditambah dengan kebijakan pemerintah yang jelas-jelas sudah banyak memberikan manfaatnya buat Islam. Pesantren tumbuh di mana-mana, kebebasan untuk menjalankan ritual ibadah agama Islam juga dilindungi oleh Negara, partai-partai Islam diberi ruang yang besar untuk tumbuh dan berjuang, ormas-ormas Islam juga sangat dihargai, jilbab sudah menjamur di mana-mana, dan sederet kebaikan lainnya yang sudah Negara ini berikan kepada Islam.
    Alhamdulillah, semua itu sudah lama hadir bersama kita. Untuk itu adakah yang salah jika muslim di Indonesia ini hormat dan taat kepada pemimpin-pemimpin kita yang ada di Negara ini? Terutama ketika mereka semua sudah berusaha berjalan di atas kebenaran. Lain halnya jika mereka “dengan sengaja” ingin merusak umat ini.

    Sidang Itsbat
    Hampir setiap tahun kita mendengar kata sidang itsbat, mungkin semua kita sudah paham dengan maksud dari kata itu. Sidang untuk menetapkan. Iya, itu dia maksudnya. Secara umum ia berguna untuk menetapkan kapan kita puasa, dan kapan kita lebaran.
    Mereka sidang, rapat, musyawarah. Setelah sebelumnya disebar petugas-petugas yang profesional bekerja untuk melihat hilal (bulan), sebagai standar waktu peribadatan dalam agama Islam.
    Dan mereka yang bertugas bukanlah orang yang awam seperti kita ini. Mereka orang-orang pilihan, punya banyak ilmu tentang perbintangan (falaq), ditambah dengan ulama’-ulama’ yang paham ilmu syariah.

    Melihat Bulan dan Tidak Melihat Bulan
    Jika kita mau jujur, sebenarnya semua ulama sepakat bahwa penentuan Ramadhan dengan melihat bulan, bukan dengan keberadaan bulan. Jika standarnya keberadaan bulan, toh selama ini dan kapan pun bulan sudah pasti ada. Cuma masalahnya terlihat atau tertutup oleh awan.
    Jika terlihat bulan baru, maka kita puasa, maka kita juga lebaran. Namun jika bulan tidak terlihat (walaupun keberadaannya ada), maka baru kita berpindah ke metode lain. Menggenapkan hitungan bulan atau dengan menggunakan ilmu hisab.
    Inilah pemaknaan hadits nabi berikut:
    صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ
    “Puasalah dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan, bila tidak nampak olehmu, maka kadarkanlah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
    صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَال بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُ سَحَابَةٌ  فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تَسْتَقْبِلُوا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً
    Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru. (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)
    Dan kesemuanya itu sudah dilakukan secara benar oleh pemerintah kita. Usaha ini dinamakan dengan proses ijtihad. Jika hasil keputusan yang diambil sudah sesuai dengan aturan-aturannya, maka apapun hasilnya, itulah yang terbaik.

    Pemegang Keputusan
    Tidak diragukan bahwa otoritas keputusan itu dipegang oleh pemimpin yang berkuasa, dulunya saja penetapan awal Ramadhan ini juga dipegang oleh Rasul SAW, tidak ada satu pun sahabat yang berani untuk meneriakkan tentang awal Ramadhan.
    Jika di antara sahabat ada yang melihat bulan, maka berita ini mereka sampaikan kepada Rasul SAW, dan biasanya Rasul SAW akan memperjelas kabar ini, jika memang yakin kebenarannya, maka akan keluar surat perintah dari Rasul agar masyarakat diberi tahu bahwa besok sudah mulai puasa.
    Keputusan yang kita serahkan kepada “pemegang keputusan” ini dimaksudkan agar masyarakat yang banyak ini tidak disibukkan dan dibingungkan dengan perkara ini.
    Untuk itulah Rasul SAW bersabda dalam kaitan ini dengan:
    الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
    Hari puasa adalah hari di mana semua kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari di mana semua kalian berbuka (maksudnya berlebaran). Dan hari Adha adalah hari di mana semua kalian beridul-Adha. (HR. At-Tirmidzi)
    Hadits ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa perilaku melawan arus orang banyak itu bukan sesuatu yang terpuji, terkhusus untuk masalah puasa dan lebaran.  Jadi tidak boleh puasa sendirian di saat masyarakat lainnya belum berpuasa, pun begitu sebaliknya jangan berlebaran sendirian di saat yang lain belum lebaran.
    Namun ada hal menarik di negeri kita ini, justru perbedaan itu yang dicari dan dikejar, sehingga ‘mungkin’ ada rasa kebahagiaan dan bangga di dalam hatinya jika berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Ya, walaupun sah-sah saja berbeda, namun dalam beberapa hal ada baiknya kita bersama.

    Ternyata Pemerintah Salah
    Anggap saja setelah semua keputusan selesai diambil, dan ternyata pemerintah salah, maka pemerintah tetap benar. Karena ijtihad yang dilakukan oleh pemimpin, ketika itu sudah melalui prosesnya yang benar, tidak kata dosa di sana. Justru yang adalah pahala.
    “Jika seorang pemimpin itu berijtihad, lalu hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua kebaikan. Namun jika ternyata hasil ijtihadnya salah, maka dia mendapat satu kebaikan” begitu Rasul SAW pernah memberikan penekanan terhadap hal penerimaan hasil ijtihad pemimpin, jika sudah dilakukan dengan prosesnya yang benar.
    Ada ungkapan menarik yang dulu pernah dilontarkan oleh Ulama besar kita, beliau adalah salah satu Imam Mazhab, Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau pernah berpesan untuk kita semua dengan ungkapan: “Seseorang itu hendaknya berpuasa bersama penguasa dan jamaah mayoritas umat Islam, baik ketika cuaca cerah maupun mendung”. Pesan yang sangat bagus sekali, yang bisa menjadi pemersatu umat ini.
    Wallahu A’lam Bisshowab.

    Oleh: M. Saiyid Mahadhir



    Read More...
     
    Copyright (c) 2010 Blogger templates by VLC Player